Mays Imad memberikan 10 strategi pengajaran untuk mendukung para siswa dan membantu mereka terus belajar selama masa yang penuh dengan ketidakpastian ini.

Pada hari ketika beban tidak ada di atas pundakmu, dan kamu tersandung, biarlah tanah liat menari untuk membuatmu seimbang. -- John O'Donohue

Beberapa tahun yang lalu, seorang mahasiswa saya kehilangan ayahnya karena penyakit tak terduga yang berakibat buruk. Dua hari kemudian, mahasiswa saya masuk kelas. Saya terkejut dan memberitahu jika dia merasa perlu waktu untuk tidak masuk supaya bisa bersama-sama dengan keluarganya dulu, saya akan membantunya untuk mengejar materi pelajaran yang tidak bisa dia ikuti. Saya memberikan izin untuk tidak ikut kelas. Dia tidak mau. Bahkan, dia berkata bahwa dengan ada di kelas itu akan membantunya melupakan masalahnya.

Alasannya terngiang-ngiang di benak saya. Sebagai seorang mahasiswa, dan bahkan sekarang sebagai seorang pengajar, berada di kelas selalu memberikan kepada saya tempat perlindungan di mana saya bisa meredakan segala sesuatu dan membenamkan diri saya sendiri dalam sebuah komunitas pencari pengetahuan, meskipun hanya selama beberapa jam setiap minggu.

Hari ini, semakin banyak perguruan tinggi dan universitas di seluruh negeri – termasuk Dartmouth College, Rice University and Stanford University, dan di antara yang lainnya – untuk sementara waktu meniadakan kelas tatap muka sebagai akibat dari keadaan COVID-19. Perbincangan-perbincangan di kampus-kampus kami, dan juga di Listservs professional, telah berubah menjadi topik tentang rencana kelanjutan akademik karena negara terus berhadapan dengan dampak COVID-19. Saat saya melihat-lihat materi-materi yang dikumpulkan oleh berbagai pusat pengajaran dan pembelajaran dan kelompok-kelompok teknologi instruksional, saya memerhatikan bahwa sumber-sumber telah berfokus hampir secara eksklusif pada cara-cara yang menggunakan teknologi: peralatan untuk merekam perkuliahan, membuat diskusi, dan pengawas ujian mahasiswa. Akan tetapi, sementara teknologi yang tahu-cara untuk terhubung secara virtual dengan para mahasiswa Anda adalah perlu, tidaklah cukup untuk melanjutkan upaya pengajaran dan pembelajaran.

Lebih daripada koneksi elektronik, kita perlu berhubungan secara emosional – terutama pada masa kekhawatiran dan ketidakpastian. Sebagai seorang ahli neurosains, saya tahu bahwa emosi adalah kunci untuk belajar. Dalam Descartes’ Error, Antonio Damasio menyatakan, “Kita bukanlah mesin yang berpikir. Kita adalah mesin yang merasakan, yang berpikir.” Literatur baru-baru ini menegaskan pentingnya bidang afektif dalam pengajaran dan pembelajaran.

Jadi, saya mulai bertanya-tanya mengenai dampak perubahan ini yang akan terjadi pada para mahasiswa dan rekan kerja secara emosional, psikologis, dan bahkan fisik. Keadaan saat ini begitu memengaruhi saya secara pribadi. Pada Operation Desert Storm, tahun 1991, saya adalah siswa di sekolah menengah di Baghdad. Ketika pengeboman terjadi, sekolah-sekolah ditutup secara mendadak. Kami tidak memiliki internet atau kemampuan untuk menghadiri sekolah secara virtual. Suatu pagi, salah seorang dari guru kami datang ke rumah saya, menyerahkan pekerjaan rumah dan mengingatkan saya untuk tetap belajar. Sampai hari ini, saya ingat betapa dedikasinya dan daya juangnya dan pengharapannya menolong saya merasakan sedikit keadaan normal selama masa yang bergejolak dalam hidup saya. Pada malam hari, saya duduk dengan cahaya lilin untuk belajar dan berangan-angan kembali pergi ke sekolah dan membayangkan semua percakapan yang akan saya lakukan dengan teman-teman saya.

Saya tidak mempertanyakan keputusan institusi pendidikan tinggi untuk mengubah kelas-kelas mereka menjadi daring atau menutup kampus mereka. Melainkan, saya memikirkan tentang bagaimana kita bisa mengajar di masa-masa yang penuh ketidakpastian dan bagaimana kita bisa memastikan bahwa mahasiswa kita terus belajar dengan paling efektif.

Lebih spesifik, saya sedang memikirkan tentang mahasiswa yang tidak memiliki lingkungan yang aman di rumah – yang aula dan ruang-ruang kelasnya harus dijadikan tempat perlindungan, mahasiswa yang telah menemukan sebuah komunitas di dalam perguruan tinggi, atau mahasiswa yang bergantung pada perguruan tinggi untuk makanan dan perlindungan mereka. Dengan kata lain, sebagian besar mahasiswa. Jadi, bagaimana kita, para pengajar, bisa menjadi "tanah liat yang menari” untuk menyeimbangkan beban mental dan emosional mahasiswa kita, supaya mereka hanya tersandung sedikit saja?

Dengan bercermin pada pengalaman dan pertanyaan-pertanyaan saya, saya membuat sebuah daftar singkat tentang apa yang kira-kira akan dilakukan oleh guru-guru saya jika saya adalah siswa yang dirumahkan karena COVID-19.

1. Email mahasiswa-mahasiswa Anda untuk mengingatkan mereka bahwa Anda masih ada di sana untuk mereka.

2. Beritahu mereka bagaimana Anda mengganti jadwal Anda untuk mengatasi keadaan yang baru dan perubahan itu adalah bagian dari kehidupan. Berlakulah manusiawi dan jadikan itu hal yang biasa dan tanpa beban. Misalnya, mungkin Anda berbicara tentang bagaimana, di tengah-tengah membaca unggahan diskusi mereka, Anda memutuskan untuk mulai melakukan pembersihan musim semi, yang telah Anda tunda lama sekali.

3. Perhatikan tentang gagasan standar pengajar yang sangat tinggi dan teruslah menantang dan mendukung mahasiswa Anda. Sebagai instruktur, kita harus sering menyeimbangkan standar pengajar yang sangat tinggi dan dukungan, dan keadaan saat ini mungkin menjadi keadaan saat mahasiswa lebih memerlukan dukungan dibanding standar pengajar yang sangat tinggi. Dengan terus melakukannya, tidak berarti Anda menambah jumlah pekerjaan yang menuntut mereka. Saya mengatakan ini karena saya khawatir bahwa beberapa di antara kita mungkin jadi terfokus pada standar sangat tinggi dari materi-materi yang diberikan.

4. Ulangi beberapa pelajaran yang Anda ajarkan di kelas. Terutama untuk mahasiswa-mahasiswa yang merindukan lingkungan ruang kelas hal ini mungkin membantu menghidupkan kenangan menjadi bagian dari sebuah komunitas dan mengingatkan mereka bahwa mereka masih menjadi bagian dari komunitas itu. Misalnya, dalam email Anda bisa mengatakan sesuatu seperti, “Ingat ketika saya berkata tentang ini dan …”

5. Gunakan kata-kata yang penuh pengharapan dan optimistik, seperti, “Ketika kalian kembali musim gugur ini…” Hal ini akan membantu mahasiswa menanti-nantikan untuk kembali ke kampus.

6. Berikan kepada mahasiswa kesempatan untuk bertukar nomor telepon dan, bagi mereka yang tertarik, bantu mereka untuk membuat WhatsApp chat group. Terkadang bisa sulit bagi mahasiswa untuk meminta nomor telepon teman kelasnya.

7. Jangan abaikan masalah besarnya. Jika memungkinkan, bicarakan tentang COVID-19 dan rasa takut. Ini merupakan sebuah peluang bagi Anda untuk mengingatkan mahasiswa Anda untuk memperhatikan sumber berita mereka dan untuk berhati-hati dengan banyaknya informasi yang salah.

8. Ingatlah bahwa mahasiswa telah ketinggalan bukan hanya kelas dan akademik mereka. Pada kampus-kampus yang memiliki orang-orang yang tinggal dan yang pulang-pergi, ada tempat-tempat penting di mana mahasiswa bertemu dan berbicara tentang kehidupan non-akademi mereka – olah raga, konser yang akan diselenggarakan, pertunjukan terkini dan sebagainya. Pikirkan untuk membuat sebuah ajang diskusi komunitas bagi mereka untuk membagikan apa yang sedang terjadi dalam kehidupan mereka, terutama keadaan stress, rasa takut, dan ketegangan di masa yang tidak menentu ini.

9. Beritahu mahasiswa Anda bahwa Anda ada di sana untuk mereka dan bahwa jika mereka membutuhkan bantuan bisa menghubungi Anda. Beritahu mereka bahwa Anda (saya harap) terhubung dengan konselor atau ahli kesehatan mental yang bisa menolong mereka jika mereka perlu untuk berbicara dengan seseorang.

10. Yang paling penting, tanyalah kepada masing-masing mahasiswa Anda apa yang bisa Anda lakukan untuk membantu mereka. Seorang penulis puisi Persia, Rumi, berkata, “Di luar ide tentang perbuatan salah dan perbuatan benar, ada satu tempat. Aku akan menemuimu di sana.” Demikian juga, di masa yang tidak menentu dan tidak diketahui ini, kita bisa menciptakan sebuah tempat di mana suara dan pengertian mahasiswa kita bisa menyinari jalan yang kita pahatkan untuk mereka – dan kita.

Jelas, ini bukan sebuah daftar yang lengkap, dan saya mengundang Anda semua untuk menambahkannya pada bagian komentar di bawah atau di #hopematters4learning. Bayangkan diri Anda sendiri sebagai mahasiswa yang rentan yang sedang berusaha untuk belajar dan menyelesaikan gelar pada serangkaian kewajiban yang perbedaannya sudah tipis. Apa yang bisa membantu Anda? (t/Jing-Jing)

Diterjemahkan dari: