Saya tidak suka memakai masker wajah. Mereka mengaburkan kacamata hitam saya dan membuat janggut saya terasa gatal. Sulit untuk berbicara secara jelas dengan mengenakan masker dan hampir tidak mungkin untuk menangkap ekspresi wajah nonverbal yang menambah tekstur penting dalam percakapan. Saya memiliki koleksi masker yang terus bertambah, tetapi tidak ada yang cocok, saya tidak tahu di mana harus menyimpannya, dan bahkan yang paling bergaya pun masih cukup aneh. Masker juga membuat mustahil untuk melupakan kenyataan menyedihkan bahwa COVID-19 masih ada; mereka adalah pengingat yang selalu hadir bahwa dunia yang kita kenal pada bulan Februari sudah lama berlalu.

Saya juga benci bahwa masker itu telah menjadi simbol politik yang memecah belah, antara yang bermasker dan yang tidak bermasker dengan menduga yang terburuk tentang satu sama lain: bahwa para pemakai masker itu takut, elit kosmopolitan, atau bahwa orang yang tidak mau memakai masker adalah para pembenci udik sains MAGA (= Make America Great Again, slogan kampanye politik yang dipopulerkan Donald Trump - Red.) yang lebih suka kebebasan mereka daripada nyawa Nenek (lansia - Red.). Konyol jadinya kalau begini: masker politisasi. Namun, saya tidak terkejut. Segala sesuatu di dunia kita saat ini dipolitisasi: es krim, pisau cukur, Harry Potter. Jadi, tentu saja masker pelindung wajah akan dipolitisasi, terutama ketika presiden sendiri membuat masker politik.

Akan tetapi, saya mengerti mengapa kita begitu cepat mempolitisir hal-hal seperti masker. Dihadapkan dengan longsoran informasi (terlalu banyak untuk dilalui dengan cukup memadai), suara-suara "keahlian" yang saling bertentangan, dan ada banyak inkonsistensi dan kemunafikan dari para pemimpin pemerintahan, kita kurang berpihak pada kamp partisan yang sudah kita masuki. Saya menduga meningkatnya kesukuan di seluruh dunia banyak berkaitan dengan kelelahan mental untuk hidup dalam masa kerakusan informasi, di mana lebih mudah untuk hanya sejalan dengan satu kelompok atau yang lain. Bagi kebanyakan dari kita, penilaian yang independen dan berbeda dari satu daftar masalah yang kompleks tidaklah realistis untuk otak kita yang sudah khawatir memikirkan pajak.

Akan tetapi, bagi orang Kristen, penting untuk bangkit dari keberpihakan politik dan memikirkan apa yang diserukan oleh iman kita sehubungan dengan memakai atau tidak memakai masker. Bagaimana jika pandangan kita tentang masker lebih banyak dibentuk oleh identitas Kristen kita daripada identitas politik Amerika kita? Seperti halnya saya tidak suka memakai masker, bersimpati dengan beberapa keraguan tentang mereka, dan merasa ngeri pada upaya untuk mempermalukan orang agar memakainya, iman Kristen saya menuntun saya untuk memakai masker ketika saya berada di tempat-tempat umum tertutup. Ketika saya melihat Kitab Suci, saya tidak melihat perintah tentang masker, tentu saja, tetapi saya melihat ajakan -- untuk melakukan setidaknya empat hal.

1. Untuk Mengasihi Sesama Anda (Mat. 22:39)

Saya frustasi karena informasi tentang masker selama COVID-19 tidak konsisten. Sangat menjengkelkan bahwa semua orang dari ahli bedah umum AS sampai CDC dan WHO telah membalik-balikkan petunjuk masker mereka. Akan tetapi, itu tidak mengejutkan. Ini adalah virus baru dan krisis yang bergerak cepat. Kita mungkin tidak akan tahu selama bertahun-tahun apa yang benar dan salah dalam upaya kita untuk menghentikan COVID-19. Akan tetapi, muncul konsensus bahwa memakai masker memang memperlambat penyebaran virus dan, dengan demikian, bisa menyelamatkan nyawa.

Bagi orang-orang Kristen yang dipanggil untuk mengasihi sesama kita seperti diri kita sendiri, mengenakan masker di depan umum -- terutama ruang tertutup di mana jarak sosial tidak dapat dijamin -- tampaknya merupakan cara yang relatif mudah untuk mempraktikkan mengasihi sesama. Sekalipun menyebalkan mengenakannya, dan bahkan jika Anda tidak yakin dengan informasi di baliknya, mengapa tidak memakainya? Mengingat ketidakpastian yang terus-menerus tentang cara COVID-19 menyebar, bukankah kita seharusnya melakukan tindakan yang lebih protektif daripada mengurangi, demi sesama kita -- bahkan jika itu adalah peluang kecil -- yang mungkin tanpa sadar menularkannya?

2. Menghormati Pihak Berwenang (Rm. 13:1-7)

Mudah untuk menyalahkan para pemimpin dewasa ini, dan tentu saja banyak yang membuat banyak kesalahan. Akan tetapi, mari tunjukkan keramahan pada mereka. COVID-19 hanyalah salah satu dari beberapa masalah kompleks dan cepat berkembang yang dihadapi otoritas di mana-mana. Alih-alih bergegas untuk mengkritik para pemimpin, bagaimana jika kita memberi mereka kepercayaan meski tidak yakin -- menghormati dan menghargai otoritas mereka dan percaya bahwa mereka bekerja keras dan berusaha yang terbaik? Lebih jauh, tampak jelas dari Roma 13 (di antara bagian-bagian lain, seperti Titus 3: 1 atau 1 Petrus 2:13-14) bahwa orang Kristen harus menghormati pemerintahan manusia yang di atas mereka, selama tunduk kepada pemerintah itu tidak bertentangan dengan ketundukan kita pada kekuasaan Kristus dan otoritas-Nya yang tertinggi.

Ketika berbicara tentang mengenakan masker bagi orang Kristen, maka, jika kota atau negara Anda sedang memberikan perintah untuk mengenakan masker dalam keadaan tertentu saat ini (seperti tempat saya), tidakkah Anda harus mematuhi arahan itu? Demikian juga jika gereja Anda telah menetapkan kebijakan "wajib masker" untuk pertemuan fisik: silakan dan pakai masker itu dengan gembira -- raih kesempatan untuk mempraktikkan Ibrani 13:17.

3. Untuk Menghormati Yang Lemah di Tengah-Tengah Kita (Rm. 14)

Mengenakan masker, sayangnya, telah memecah belah di gereja-gereja di mana mengenakan masker tidak wajib. Beberapa pengunjung gereja akan mengenakannya; beberapa tidak. Bisa ditebak, kelompok akan mulai mengasumsikan yang terburuk tentang satu sama lain -- bahwa orang-orang yang tidak mau mengenakan masker gegabah dan melihat diri mereka lebih kuat dan lebih berani; dan bahwa para pengguna masker adalah pengecut dan ketakutan, membutuhkan dorongan ke arah risiko.

Dalam Roma 14 dan 1 Korintus 8 dan 10, Paulus berpendapat bahwa dalam hal kebebasan, penting bahwa orang Kristen "yang lebih kuat" tidak memamerkan kebebasan mereka dengan cara yang menjadi batu sandungan bagi yang lemah. Ketika seorang saudara yang "lebih lemah" mengenakan masker memasuki sebuah pertemuan gereja yang penuh dengan saudara-saudara "yang lebih kuat" tanpa masker, si pemakai masker secara alami merasakan tekanan untuk melepaskannya -- tetapi itu persis seperti melukai hati nurani yang lemah yang Paulus katakan sebagai "dosa terhadap Kristus" (1 Kor. 8:12).

4. Menggunakan Kebebasan Demi Injil (1 Kor. 9:19-23)

Orang-orang Kristen Amerika kadang-kadang cenderung memahami "kebebasan" dengan cara yang lebih dibentuk oleh Konstitusi Amerika Serikat daripada oleh Alkitab. Akan tetapi, tidak ada dorongan keindahan dan legitimasi kebebasan buatan manusia yang menunjukkan bahwa Alkitab kadang-kadang memanggil kita untuk melepaskan kebebasan ini demi Injil.

Paulus, misalnya, tampak senang menyerahkan kebebasannya demi mengasihi orang lain (1 Kor. 8:13). "Namun, walaupun aku bebas atas semua orang, aku menjadikan diriku sendiri hamba bagi semua orang, supaya aku boleh memenangkan lebih banyak lagi," tulisnya (1 Kor. 9:19). "Bagi orang yang lemah aku menjadi lemah, supaya aku dapat memenangkan mereka yang lemah. Aku sudah menjadi segala sesuatu bagi semua orang, supaya dengan segala cara aku dapat menyelamatkan beberapa orang. Aku melakukan semuanya ini demi Injil, supaya aku boleh mendapat bagian di dalamnya" (1 Kor. 9:22-23). Ada kekuatan misi dalam posisi ini. Beberapa hal lebih indah untuk disaksikan daripada seseorang yang melepaskan hak dan kebebasannya demi orang lain.

Ada banyak yang dipertaruhkan untuk kesaksian Kristen selama COVID-19. Apakah kita ingin dunia yang tidak percaya memandang Kristen sebagai penyebar virus yang gegabah yang menempatkan kebebasan mereka sendiri (untuk berkumpul sesegera mungkin, untuk tidak mengenakan masker kecuali jika benar-benar diperintahkan) di depan kesehatan komunitas mereka yang lebih besar? Atau apakah kita ingin mereka memandang orang Kristen sebagai "hamba bagi semua orang," yang rela menanggalkan kebebasan mereka karena 1 Kor. 8:13). "Namun, walaupun aku bebas atas semua orang, aku menjadikan diriku sendiri hamba bagi semua orang, supaya aku boleh memenangkan lebih banyak lagi," tulisnya kasih kepada sesama seperti Kristus?

Jika gangguan kecil memakai masker bisa membantu tidak hanya menyelamatkan nyawa tetapi juga jiwa, memenangkan lebih banyak untuk Injil, bukankah itu layak? (t/Jing-Jing)

Diterjemahkan dari:
Nama situs : The Gospel Coalition
URL : https://www.thegospelcoalition.org/article/4-reasons-wear-mask/
Judul asli artikel : 4 Reasons to Wear a Mask, Even if You Hate It
Penulis artikel : Brett McCracken