Revolusi Ibadah Gereja

Saya ingin memulai dengan mengatakan bahwa hari ini, Minggu 22 Maret 2020, merupakan simpul waktu yang "revolusioner" dialami oleh Indonesia, khususnya umat kristiani, sebagai respons positif sekaligus menyatakan tanggung jawab terhadap cobaan yang sedang dialami oleh negeri ini dari "hantaman" wabah virus COVID-19.

Ada beberapa alasan mengapa menjadi simpul waktu revolusioner bagi kehidupan umat kristiani yang harus disikapi secara proporsional memandang hidup di dimensi maupun perspektif masa depan yang baru.

Pertama, mendefiniskan ulang makna dari ibadah yang selama ini dilakukan secara rutin di gedung-gedung gereja di setiap hari minggu. Selama ini, hari minggu identik dengan harus ke gereja untuk beribadah.

Seakan gedung gereja itu begitu sakral dan menyelamatkan jiwa manusia yang membutuhkan pertolongan dan keselamatan. Seakan hanya di gedung gereja lah umat bisa jumpa dengan Tuhan sendiri.

Itu sebabnya, orang yang tidak berada di gereja di setiap hari minggu akan merasa kehilangan momen berjumpa dengan Tuhan melalui ritual beribadah setiap minggu.

Tidak hanya itu, juga akan menegaskan dan meneguhkan posisi kehidupan sosial di tengah-tengah komunitas umat sebagai bagian dari sebuah paguyuban yang terbangun itu.

Kali ini, pemahaman itu tidak lagi seperti itu. Ketika Gereja-gereja, yang pada umumnya akhirnya membuat keputusan strategis nan revolusioner, bahwa ibadah minggu ini, 22 Maret dan minggu depan 29 Maret 2020 akan diadakan di rumah masing-masing. Dan tidak lagi di gedung gereja seperti yang dilakukan selama ini.

Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia yang memiliki anggota paguyuban atau persekutuan hampir 100 organisasi gereja atau Sinode Gereja, telah lebih awal melakukan sosialisasi akan ibadah dilakukan di rumah-rumah saja. Bahkan sebelum Gubernur DKI Jakarta memutuskan tentang keadaan darurat Covid-19 di DKI Jakarta, gereja-gereja sudah melakukannya.

Kendati ada perbedaan di kalangan gereja-gereja tentang keputusan ini, tetapi dipastikan sebagain besar melalukan ibadah di rumah. Paling tidak gereja yang ada di Jabodetabek.

Kedua, saat ini umat Kristen sedang dalam masa raya paskah, dan memasuki minggu Pra Paskah IV untuk 22 Maret 2020, dan ke V pada minggu 29 Maret 2020.

Masa Pra Paskah sebagai kesempatan merefleksikan bagaimana penderitaan dari Yesus Kristus yang selama 40 hari berada di gurun pasir dan mengalami banyak persoalan, kesulitan dan cobaan dari iblis dunia ini.

Nyaris memberikan bobot yang hampir serupa dengan apa yang sedang dunia alami saan ini, pun Indonesia. Ketika wabah virus Corona terus saja menerjang dan sudah hampir 193 negara yang ada di dunia ini terinfeksi, dengan beda-beda intensitasnya. Artinya, dunia ini sedang menderita, sedang panik dan takut karena cobaan dari virus Corona ini.

Pada tataran ini, umat Kristen menerima dan memahami sebagai bagian dari cobaan yang harus dilewati oleh umat manusia sama dengan Yesus Kristus pada sekitar 2000-an tahun lalu.

Di dalamnya ada pembelajaran kehidupan iman percaya umat, bahwa ketika umat tetap tegas pada pesan, nasehat dan Firman Tuhan, maka pertolongan selalu tersedia bagi manusia itu sendiri.

Benar juga, karena saat-saat seperti ini, bangsa ini, Indonesia ini, sedang di uji iman percayanyya. Apakah ketakutan yang terus mendera dinamika hidup keseharian, atau pasrah dan menyerahkan serta memohon pertolongan Tuhan bagi bangsa dan republik ini.

Ketiga, masa-masa ini menjadi waktu revolusioner bagi keluarga-keluarga Indonesia untuk menjadi lebih kokoh, kuat dan solid. Sebab, ketika semua sekolah, bahkan kantor-kantor meminta karyawan bekerja di rumah masing-masing sedemikian rupa sehingga keluarga harus bersatu dan merumuskan ulang serta merevitalisasi kehidupan yang lebih baik.

Ini tidak mudah dijalankan, karena selama ini, kehidupan keluarga lebih banyak dipisahkan oleh setumpuk kesibukan, perjuangan mencari sesuap nasi, dan perlawanan terhadap banyak kekuaatiran hidup.

Kini untuk sementara dihentikan, dan dipaksa untuk duduk bersama di rumah kembali sambil bekerja atau sambil belajar bagi siswa dan mahasiswa.

Harus dimengerti, bahwa di sana akan ada shifting paradigm, pergeseran mindset, dan ketegasan untuk melakukan perubahan yang produktif. Ini tidak mudah apalagi kalau semua anggota keluarga melakukannya bersama. Tetapi dengan kesepakatan antara semuanya hal ini menjadi sesuatu yang menyenangkan.

Keempat, kebijakan atau lebih cocok disebut strategi social distancing yang diberlakukan oleh pemerintah, sebagai ujian kepatuhan bagi warga bangsa ini agar masalah penyebaran virus Corona dapat dihentikan dan korban tidak semakin banyak.

Ini menjadi sebuah wilayah kunci bagi kemajuan sebuah bangsa dan masyarakat. Ketiak kepatuhan atau compliance masyarakatnya semakin tinggi, maka apapun masalah bisa diselesaikan lebih cepat dan akurat. Sebaliknya, akan menjadi malapetaka ketika warga negara tidak patuh, dan malah membuat banyak masalah.

Kasus Covid-19 hanya merupakan salah satu pintu masuk yang baru untuk membangun nilai kepatuhan bagi Indonesia. Sebab, masih banyak lagi kasus-kasus yang akan terus menerpa negeri ini sebagai konsekuensi dari posisi Indonesia yang berada dalam ring-fire area, yang sering munculnya bencana alam seperti gempa bumi, banjir, dan lain-lain.

Kedepan, nilai kepatuhan masyarakat akan menjadi kebutuhan yang sangat vital agar bencana apapun yang akan datang dapat dihadapi dan diselesaikan dengan efektif.

Kelima, mimbar gereja pindah ke rumah sebuah simpul revolusioner dalam mengadakan ibadah ketika kemajuan teknologi, informasi, komunikasi berbasis internet telah menegaskan kehadirannya bagi mendefinisikan hubungan sosial antar manusia di muka bumi ini.

Alergi terhadap penggunaan teknologi, informasi, dan komunikasi atau disingkat ICT -- Information, Communication dan Technology, yang berbasis internet harus dibuang jauh-jauh. Sebaliknya, teknologi diciptakan oleh manusia untuk membuat hidup manusia lebih mudah, efisien dan efektif.

Memang, polemik apakah teknologi menguasai manusia atau manusia menguasai teknologi, merupakan sisi lain yang menjadi pergumulan saat ini. Artinya, harus ada rumusan ulang tentang peran ICT dalam membangun hidup manusia yang lebih baik, maju dan tetap berada dalam kendali Tuhan Yang Maha Kuasa. Ini tentu soal lain yang butuh ruang khusus untuk didiskusikan.

Ibadah di Rumah: Ada Rasa Haru Mengalir

Ketika beribadah di rumah artinya mimbar gereja yang selama ini ada di gedung-gedung gereja dipindahkan di rumah masing-masing jemaat. Dengan demikian, mimbar gereja itu tidak lagi sepenuhnya ada di gereja, tetapi di rumah umat sebagai persekutuan keluarga juga termasuk mimbar gereja yang memiliki nilai yang sama dengan mimbar gereja yang ada di gedung gereja.

Kami sekeluarga menjalani ibadah dir umah dengan pengalaman yang unik. Selain karena kami hanya berlima dengan anak-anak, juga karena harus dilakukan melalui Video YouTube yang sudah dishare sejak pagi hari oleh Majelis Jemaat.

Ada perasaan harus mengalir dalam diri kami bersama-sama ketika mengikuti dengan seksama urutan ibadah, yang kami saksikan melalui layar laptop di rumah, Dan satu jam tidak terasa berlalu dengan cepat dengan duduk bersama layaknya sedang berada di gereja.

Saat selesai ibadah, kami semua saling berbagi, sharing, dan hasilnya sama, yaitu nampak lebih efektif merasakan pesan ibadah di rumah ketimbang di gereja. Pesan pemberitaan Firman Tuhan bisa dicerna dengan lebih banyak dan mudah karena hanya fokus tanpa ada gangguan dari kiri dan kanan.

Bila ini yang terjadi, dipastikan ibadah ini akan membawa perubahan dalam diri umat yang diharapkan menjadi penopang dalam memperkuat diri dan ketahanan hidup dalam segala situasi. Termasuk saat ini, ketika harus memiliki daya tahan tubuh dan jiwa serta psikis nan spiritual untuk melawan wabah Covid-19.

Tuhan memberkati kita semua melawati masa-masa sulit bagi dunia dan bangsa Indonesia sendiri!

Diambil dari :