Penutupan kampus universitas yang tiba-tiba di seluruh Cina dan di mana-mana telah mengharuskan penyampaian perkuliahan yang sangat banyak secara virtual. Dan, sementara muncul permasalahan yang tidak dapat dihindarkan, para pengamat bertanya-tanya apakah masa yang akan datang bisa menjadi seperti sekarang.

Ketika Times Higher Education melakukan survei terhadap para pemimpin universitas-universitas dunia yang terkenal pada tahun 2018, 200 responden – dari 45 negara di seluruh enam benua – tegas dalam satu hal: pendidikan tinggi daring tidak akan pernah sama dengan yang nyata.

Walaupun 63 persen diperkirakan dilaksanakan, universitas-universitas bergengsi harus menawarkan gelar penuh daring pada tahun 2030, hanya 24 persen yang menduga bahwa versi elektronik akan menjadi lebih populer daripada gelar-gelar dari kampus tradisional (“How will technology reshape the university by 2030”, Features, 27 September 2018).

Lino Guzzella, presiden ETH Zurich, menegaskan bahwa “bertemu orang-orang, berinteraksi dengan teman sejawat, mahasiswa dan pengawas – singkatnya, lingkungan universitas yang nyata – adalah kunci untuk pemahaman yang mendalam.”

Seorang wakil ketua kedutaan Australia mengatakan bahwa “interaksi tatap muka tidak akan pernah sama secara kualitas dengan mode komunikasi lainnya” – bahkan jika sekarang ini “mode untuk sementara waktu tampaknya memiringkan keseimbangan terhadap interaksi bukan-manusia.”

Jane Gatewood, wakil-pembantu rektor untuk penyatuan global di University of Rochester di negara bagian New York, menyamakan perbedaan antara pembelajaran di kampus dan daring dengan perbedaan antara mengunjungi sebuah tempat yang baru dan sekadar “menyaksikan sebuah video” tempatnya.

Dan, Yang Hai Wen, wakil presiden Southern Medical University di Guangzhou, Cina, mengatakan bahwa pendidikan daring akan “menciptakan lulusan-lulusan yang lebih tidak sehat dan (menciptakan) lebih banyak frustrasi dalam komunikasi interpersonal.”

Media sosial Cina saat ini dipenuhi dengan anekdot berisikan frustrasi seperti itu karena pendidikan daring. Mahasiswa-mahasiswa menceritakan harus terburu-buru di toilet untuk menjawab panggilan professor atau mematikan deretan konten video untuk memblokir teriakan keluarga atau bermain mahjong (permainan khas di dataran Cina, biasa dijadikan sebagai permainan judi juga - Red.) sebagai latar belakangnya. Sekelompok mahasiswa Chinese University of Hong Kong mengganti semua nama pengguna menjadi “TIDAK ADA SUARA” setelah seorang professor yang malang terus mengajar dengan mikrofonnya dalam keadaan mati.

Lalu sekali lagi, permasalahan yang muncul seperti itu hanya diperkirakan dikatakan sangat cepat ketika univeritas-universitas di Cina terpaksa mengganti semua pembelajaran daring mereka – justru untuk menjaga kesehatan mahasiswa mereka – di tengah penjangkitan Virus Corona yang telah melumpuhkan daerah itu. Sistem pendidikan tinggi yang terbesar di dunia telah masuk ke dalam pengalaman pembelajaran elektronik dari skala dan lingkup yang belum pernah terjadi sebelumnya, saat staf medis universitas menyatakan sebuah epidemi, pada awal Maret, yang telah menulari lebih dari 100.000 pasien dan membunuh sekitar 4.000.

Semua mahasiswa di tanah daratan Cina dan Hong Kong – dari taman kanak-kanak sampai calon doktor – diminta untuk tinggal di rumah dan menempuh pendidikan mereka secara daring sampai liburan Tahun Baru Cina selesai pada akhir Januari. Pada tingkat ketiga, hal ini memengaruhi 30 juta pelajar di 3.000 institusi, banyak dari mereka yang menanggapi dengan bergegas mengembangkan dan meluncurkan kelas-kelas secara daring sesuai aturan untuk mengisi kekosongan yang mungkin terus ada selama sisa tahun ajaran pada sebagian besar daerah yang terdampak parah.

Bukan saja mahasiswa-mahasiswa Cina yang terkena dampaknya. Banyak dari setengah juta mahasiswa internasional yang mendaftar ke universitas-universitas di tanah daratan Cina dan Hong Kong terpaksa harus log in dari negara asal mereka untuk melanjutkan perkuliahan mereka. Sementara itu, Australia juga sedang mengusahakan solusi daring untuk sekitar 100.000 mahasiswa Cina internasional yang pulang untuk Tahun Baru Cina dan kemudian dicegah oleh larangan travel Australia untuk kembali ke kampus. Masalah ini mengakibatkan kekhawatiran tentunya di Australia kemungkinan bahwa tahun akademik 2020-21 telah mulai tetapi, jika epidemi terus berlangsung, masalah yang sama bisa memengaruhi negara-negara lain dengan kelompok mahasiswa Cina yang banyak, seperti di Inggris dan Kanada.

Universitas-universitas di area merah wabah Covid-19 lain, seperti Italia, Iran, dan Singapura, juga telah menutup kampus mereka, dan Singapura telah mengganti pengajaran tatap-muka dengan pilihan daring untuk sementara waktu.

Akan tetapi, seberapa realistik untuk tiba-tiba beralih ke sejumlah besar pengajaran daring? Apakah para pemimpin universitas yang disurvei oleh THE Right mengasumsikan bahwa mahasiswa akan melihat pengalaman mahasiswa virtual sebagai pengganti yang buruk untuk pengalaman yang nyata? Atau mungkinkah pendidikan tinggi daring bisa menjadi hal normal yang baru jauh lebih dini dan bisa sangat luas jangkauannya daripada yang para ahli ramalkan sebelumnya?

Universitas-universitas di Asia awalnya lambat menerima pembelajaran daring. Sementara The New York Times memberi julukan “tahun Mooc,” (sistem pembelajaran berupa kursus daring secara besar-besaran - Red.) Mooc di Asia yang pertama, dikembangkan oleh Hong Kong University of Science and Technology, muncul pada tahun berikutnya.

Akan tetapi, antusiasme untuk Mooc sejak itu telah menyusut dan Asia Timur ditunjuk untuk merintis gerakan dunia untuk menyampaikan pengajaran daring universitas besar yang lebih banyak. Jepang, Korea Selatan, Hong Kong, dan Singapura semua memiliki angka penetrasi internet 85 sampai 95 persen, dan meskipun angka itu turun menjadi sedikit lebih dari 50 persen di tanah daratan Cina, jumlahnya masih mencapai 840 juta pengguna internet: kelompok nasional terbanyak di dunia.

Selain itu, “Cina adalah salah satu negara yang paling mampu secara teknik di dunia”, menurut Hamish Coates, pemimpin Higher Education Division of the Institute of Education di Tsinghua University. Secara khusus, dia menyebutkan Haidian distrik Beijing, yang merumahkan selusin kampus universitas, termasuk Universitas Tsinghua, demikian juga kantor pusat Google Cina, Microsoft Cina dan perusahaan teknologi domestik Baidu dan Xiaomi. “Ini adalah salah satu pusat edtech terbesar di dunia,” kata Coates.

Hong Kong telah menjadi yang pertama untuk mulai berpindah ke pendidikan daring ketika universitas-universitas publiknya menggantikan kelas-kelas dan penilaian-penilaian tatap-muka dengan pilihan digital pada akhir November, karena penutupan kampus yang disebabkan oleh protes anti-pemerintah dan kekerasan polisi. Karenanya, selain beberapa minggu pada bulan Januari, kampus-kampus Hong Kong telah berjalan secara digital selama beberapa bulan.

“Perangkat keras komputer, perangkat lunak, dan sistemnya semuanya ada,” kata Yeung Yau-Yuen, seorang pakar IT dan pendidikan sains di Education University of Hong Kong (EdUHK) dan seorang professor tamu di Sichuan Normal University. “Kami belum punya bandwith (perbedaan antara frekuensi terendah dan frekuensi tertinggi dalam rentang tertentu - Red.) yang cukup, tetapi itu sepertinya akan terselesaikan dengan 5G.”

Akan tetapi, Yeung mengakui bahwa pengalaman Mooc agak setengah-setengah dan tidak mengenai orang-orang tertentu bukanlah model yang baik untuk diikuti universitas: “Dengan pengecualian beberapa mata kuliah yang sangat top, kualitas Mooc secara keseluruhan mungkin tidaklah hebat,” katanya. “Dan ada angka keluar yang tinggi. Mooc bukanlah solusi, karena pengajaran daring membutuhkan bimbingan. Itu harus menarik, dengan banyak pembelajaran tatap muka sebanyak mungkin.”

EdUHK memilih untuk menyampaikan perkuliahan dan seminar melalui web conferencing memakai Zoom. Hal ini membutuhkan beberapa pelatihan dosen, tetapi, perpindahan digital dicapai dengan penundaan yang minimal.

“Itu bukanlah masalah besar. Universitas-universitas Hong Kong melakukan itu dalam dua minggu,” kata Yeung. “Dan, tanah daratan juga sangat cepat.” Mahasiswa-mahasiswa universitas semua siap daring, dan hampir semuanya bisa dilakukan dengan telepon genggam.”

EdUHK telah membuat jadwal dan standar untuk perkuliahan daring, dan nilai kehadiran kelas kelompok. Ketidakhadiran yang terus-menerus, kecuali karena keadaan yang khusus, bisa menyebabkan gagalnya satu mata kuliah. Dan, meskipun para mahasiswa duduk sendirian dalam sebuah ruangan, “ada semacam semangat, antusiasme, ketika kalian semua bersama-sama, bahkan jika di depan layar,” kata Yeung. “Ketika Anda hanya belajar daring sendirian, itu sulit. Anda perlu teman-teman belajar. Adalah baik untuk melihat mahasiswa-mahasiswa lain mengajukan pertanyaan.”

Dia mengakui bahwa mahasiswa-mahasiswa masih dapat menemui kesulitan untuk berfokus ketika mereka dikelilingi dengan gangguan dari kulkas, hiburan permainan, dan kenyamanan lain di rumah. Karenanya, “Anda tidak mendapatkan tanggapan yang sama besarnya dengan ketika bertatap muka. Akan tetapi, itu lebih baik daripada pembelajaran-sendirian,” katanya.

Pergeseran digital yang tiba-tiba telah mendorong departemen IT universitas ke garis terdepan perhatian manajerial. Ian Holliday, wakil-presiden dan wakil-ketua kedutaan profesional (mengajar dan belajar) di University of Hong Kong (HKU), sekarang sedang memainkan peran langsung di institusi Technology-Enriched Learning Initiative (TELI). Dengan dua puluh empat desainer, pengembang dan ahli IT, program jauh mendahului pergolakan baru-baru ini dan difokuskan pada memfasilitasi ruang-ruang kelas yang berubah, Mooc, dan inovasi-inovasi digital lainnya. Bagaimana pun, asumsi sebelumnya bahwa pembelajaran daring adalah satu-satunya pilihan yang realistik untuk dosen-dosen yang menyukai dan mengikuti perkembangan teknologi, telah diruntuhkan, dengan menuntut TELI untuk “menjangkau semua orang pada saat yang bersamaan”, kata Holliday.

“Pembelajaran daring telah menjadi pusat model pembelajaran kita,” kata Holliday. Akan tetapi, dia menambahkan bahwa dia berharap hal ini menjadi kejadian hanya untuk sementara. Karenanya, beberapa aspek yang lebih sulit dari perubahan ke biaya perkuliahan daring secara besar-besaran belum disebutkan. Daftar jam pembelajaran telah dilengkapi dengan mesin baru seperti “materi yang bisa dengan mudah diajarkan daring didahulukan”, kata Holliday. Universitas juga harus “memikirkan kembali tugas-tugas mahasiswa, terutama saat tugas kelompok yang melibatkan orang banyak adalah sangat sulit bagi mahasiswa yang sering tinggal di zona waktu yang jauh berbeda.” Tugas-tugas bisa juga berubah, yang memberikan bobot lebih banyak kepada tugas mingguan dan sedikit untuk ujian akhir massa, yang beberapa sekolah KHU perjuangkan untuk dilakukan daring. Akan tetapi, pengetahuan aplikasi praktis yang dipelajari, seperti kelas-kelas di laboratorium dalam ilmu kedokteran dan ilmu pengetahuan, telah ditunda hingga akhir modul, yang saat itu diharapkan kampus akan sudah dibuka kembali – meskipun HKU mengumumkan minggu lalu bahwa kelas saat ini akan ditiadakan selama semester ini, yang berlangsung sampai akhir Mei.

Bukan hanya departemen-departemen IT yang telah direntangkan dengan perubahan daring. Para dosen, juga, harus membuat perubahan besar pada kebiasaan bekerja mereka. Dan banyak yang melaporkan beban pekerjaan yang lebih berat karena mereka berjuang untuk mengunggah materi pengajaran daring mereka dan mengacu pada apa yang ada dalam perkuliahan daring. Yeung, misalnya, berbicara kepada THE menggunakan headset dari kantornya yang penuh-buku selama pertemuan Zoom ketujuh hari itu. Dia melaporkan terkadang merekam 10 video untuk digunakan hanya satu kelas, dan sekarang harus melakukan penilaian mahasiswa satu demi satu, bukan sebagai kegiatan kelompok.

Sementara itu, Areum Jeong, seorang asisten professor di Sichuan University – Pittsburgh Institute (SCUPI) di Cina, bekerja jauh dari asalnya Korea Selatan untuk mempersiapkan materi untuk komposisi Bahasa Inggris daring dan kelas-kelas film Korea yang mulai pada akhir Februari, dikirimkan via situs BigBlueButton conferencing. Dia memberi pujian kepada staff admin universitas yang bekerja “tanpa lelah, sepanjang waktu” untuk memberikan sesi-sesi pelatihan tentang cara menggunakan situs, dan dia juga berterima kasih untuk tips-tips praktis yang dibagikan oleh rekan fakultas dan staf mengenai platform Cina mengirim dan menerima pesan, WeChat.

Jeong, yang telah mengajar dengan dan tanpa video, membagikan klip dan tayangan. Dia telah merevisi silabusnya, membuat halaman utama mata kuliah dan mengunggah bacaan-bacaan yang diperlukan. Untuk menjaga minat para mahasiswanya, dia telah mempersiapkan kegiatan-kegiatan di kelas, diskusi kelompok, pemungutan suara daring dan bahkan mengupdate presentasi PowerPointnya untuk membuatnya “lebih menyolok.”

Dia mengakui bahwa tulisan Bahasa Inggris bisa menjadi “pelajaran yang membosankan dan sulit” bagi mahasiswa, bahkan pada waktu yang terbaik, terutama untuk mata pelajaran sains yang menggunakan bukan bahasa-pribumi yang mungkin merasa “tidak yakin dan stress” dengan panjangnya tugas esai. “Membangun koneksi dengan mahasiswa bisa menjadi faktor yang sangat penting dalam membuat mereka tetap bersemangat dan terlibat,” katanya, dengan menambahkan itu dia biasanya berusaha untuk bertemu secara pribadi dengan mahasiswa sesering mungkin selama jam kerjanya. Ketika tidak ada kesempatan itu, “penyesuaian dan bersikap fleksibel adalah kuncinya,”

Tetap, ada beberapa pengalaman pembelajaran yang tidak bisa digantikan secara digital. Awalnya, Jeong ingin tetap melaksanakan menonton film seperti biasa, ditambah sesi Tanya Jawab dengan pembuat film Korea. Sekarang, salah seorang mahasiswanya membantu dia melihat platform streaming Cina d imana film-filmnya bisa ditonton daring, tetapi dia sedih karena mahasiswa-mahasiswanya akan kehilangan pengalaman berbagi dari menonton film bersama-sama.

“Saya membayangkan kelas penuh dengan mahasiswa yang dengan antusias membagikan opini mereka tentang tayangan khusus dan mengajukan pertanyaan tentang kaitan filmnya dengan sejarah dan masyarakat Korea,” katanya.

Bukti kuat bahwa keunggulan ruang kelas di atas pengalaman daring sebenarnya jarang. Sesungguhnya, para peneliti pendidikan Robert Bernard, Eugene Borokhovski dan Richard Schmid, dari Centre for the Study of Learning and Performance di Concordia University, Canada, memberitahu THE pada tahun 2018 bahwa mereka tahu “tidak ada bukti empiris yang mengatakan bahwa pelajaran ruang kelas memberi keuntungan bagi mahasiswa (dibandingkan dengan pilihan lain) dari perspektif pencapaian pembelajaran”. Yang lebih penting daripada mediumnya adalah apakah dosen-dosen universitas bisa “menangkap dan menantang imajinasi, berdasarkan pengetahuan para pelajar yang ada sebelumnya.”

Tindakan perubahan ke daring karena terpaksa di Cina tidak selalu mudah dicapai, bagaimana pun – seperti komentar media sosial yang disebutkan di atas menggambarkannya. Siapa pun yang pernah mencoba untuk melakukan pertemuan via Zoom tahu bahwa ada masalah teknis dan penjadwalan yang tidak dapat dihindarkan ketika berusaha untuk menghubungkan 30 orang, apalagi 30 juta. Sesungguhnya, pada hari-hari pertama, beberapa platform web conferensing di Cina, termasuk perusahaan teknologi domestik sangat besar, Tencent, mengalami kegagalan sistem komputer setelah menerima lompatan sepuluh kali lipat di lalu lintasnya, sehingga hashtag #TencentClassroomCrashed menjadi tren di Weibo, sebuah saluran media sosial yang populer.

Menteri Pendidikan Cina mengumumkan pada bulan Februari bahwa negara memiliki 22 platform daring yang menyediakan 24.000 mata kuliah pendidikan tinggi secara gratis, yang mencakup 12 disiplin untuk mahasiswa belum mendapat gelar dan 18 pada “tingkat pendidikan tinggi kejuruan”. Pilihan-pilihan ini akan sangat bermanfaat bagi institusi-institusi regional atau yang lebih kecil yang mungkin belum punya peralatan untuk membuat alternatif daring dengan cepat.

Sementara itu, beberapa institusi elit telah melampaui dari sekadar mengubah pembelajaran daring mereka. Peking University, misalnya, juga menawarkan konseling trauma, saran pekerjaan, pengawasan thesis, dan layanan pendukung lain secara daring. Dan beberapa tokoh sektor senior diyakinkan bahwa selagi kampus secara fisik akan menguasai nilai yang sangat banyak setelah epidemi berakhir, mungkin tidak akan kembali ke seluruh model analog pelajaran universitas.

Holliday dari HKU, misalnya, memperkirakan bahwa “banyak rekan kerja yang akan membuat perubahan permanen pada praktik pengajaran mereka sebagai akibat dari apa yang terjadi dalam beberapa minggu ini. Kita sudah menemukan bahwa meskipun terdapat banyak masalah dan tantangan, beberapa mahasiswa dan dosen menulis untuk menunjukkan penghargaan atas hal-hal yang benar-benar mereka sukai tentang pengajaran daring. Tugas kita adalah untuk mempertahankan aspek-aspek ini dan mengintegrasikan mereka dengan pengajaran tatap muka setelah kampus kembali normal.”

Coates dari Tsinghua juga berpendapat bahwa “hampir pasti nanti akan ada ledakan setelah-virus” dalam pendidikan tinggi daring.

“Kita bahkan tidak tahu bahwa ini adalah mungkin,” katanya mengenai pembelajaran daring massa. “Akan tetapi, sekarang Anda memiliki sistem universitas utama yang membuktikannya kepada presiden, penyokong dana, dan pemerintah.”

Dia menambahkan bahwa perkembangan utama yang telah terjadi pada beberapa minggu yang lalu tidak secara teknis sama seperti kultural di antara petugas admin dan pemerintah. “Pendidikan daring telah matang menjadi arus besar,” katanya. “Hal yang penting adalah legitimasi.”

Meskipun demikian, tampaknya tetap ada batasan ke sejauh apa perubahan digital jangka-panjang akan berlangsung. Itu adalah karena, betapa pun berhasilnya sebuah universitas dalam menjalankan pengajaran daringnya, tampaknya tidak akan ada pengganti virtual yang baik untuk pengajaran di luar/lapangan atau pertukaran akademik – jangan pernah meremehkan daya tarik sosial dan kultural dari kehidupan kampus, dari grup ben malam hari sampai acara-acara olah raga.

Christy Kan, mahasiswa jagoan jurusan Jurnalisme di HKU, pernah melakukan Mooc sebelumnya, jadi tidak punya kesulitan teknis untuk menyesuaikan diri dengan pembelajaran daring. Akan tetapi, dia merasakan bahwa interaksi daring dapat menjadi “agak aneh”, karena beberapa mahasiswa memilih untuk mematikan kamera dan mikrofon komputer mereka, membiarkan dosen mengajar di depan “layar hitam” selama berjam-jam sampai selesai. Menurut pengalamannya, para mahasiswa juga cenderung untuk mengajukan lebih sedikit pertanyaan daring, dan beberapa orang kesulitan untuk menghadiri kelas karena perbedaan zona waktu.

Ditanya mengenai prospek penutupan kampus jangka-panjang, dia menjawab: “Tidak ada yang menginginkan hal ini terjadi!” Mengulangi pandangan para pemimpin universitas yang menjawab survei THE 2018, Kan menambahkan bahwa “sebagai mahasiswa, saya sangat menghargai kehidupan kampus. Tentu saja, universitas bisa mengubah pembelajaran tatap muka menjadi pembelajaran daring kapn pun, tetapi, pengalaman kehidupan kampus yang nyata tidak bisa dilakukan secara virtual.” (t/Jing-Jing)

Diterjemahkan dari: