Saat ini, kita jelas berada dalam momen sejarah yang menentukan, yang mewakili perubahan paradigma dalam dunia pendidikan tinggi Kristen. Dari titik ini ke depan, sejarah institusional akan ditulis dalam istilah pre-virus corona dan post-virus corona.
Cara terbaik untuk menghadapi tantangan yang sedang berlangsung ini adalah dengan memiliki daya fleksibilitas yang besar serta persiapan yang sebanyak mungkin.
Memikirkan Ulang Konsep Ruang
Pada titik ini, skenario kasus terbaiknya akan tampak seperti model kelas tradisional yang dikombinasikan dengan penerapan jarak sosial di ruang kelas dan di seluruh kampus, uji kesehatan, pemindaian suhu tubuh, penyediaan tempat untuk mengkarantina siswa, masker untuk semua orang, dan menyediakan cukup banyak dispenser desinfektan.
Para pemimpin universitas perlu memikirkan kembali cara penggunaan ruang yang ada -- mulai dari rumah sakit sementara untuk siswa yang sakit hingga jarak yang lebih luas antarkursi di ruang kelas, kapel, dan ruang makan. Mungkin saja ruangan untuk siswa perlu diperluas sampai ke ruangan yang sebelumnya digunakan oleh staf universitas, dengan meminta staf yang tidak perlu berada di kampus untuk tinggal di rumah.
Mungkin akan lebih bijaksana untuk bekerja ke arah model hybrid, dengan beberapa siswa kembali ke kampus sementara yang lainnya -- yang mungkin lebih rentan terhadap penyakit atau yang berdomisili jauh dari kampus -- untuk melanjutkan perkuliahan mereka secara daring. Mengumpulkan siswa bersama adalah sesuatu penting, mengingat kegiatan, interaksi pribadi, dan rasa kebersamaan yang begitu penting di kampus-kampus Kristen. Namun, segala sesuatu akan memiliki tampilan dan nuansa yang berbeda.
Pada titik ini, keselamatan jauh lebih penting daripada upaya untuk memberikan pengalaman kuliah yang ideal. Tidak ada kampus yang ingin menjadi tempat menyebarnya wabah.
Memikirkan Ulang Jadwal Akademis
Sekarang adalah waktu bagi banyak orang untuk memikirkan ulang kalender akademik, beralih dari perkuliahan dengan sistem semester ke sistem kuliah intensif selama satu minggu, kursus modular empat minggu, atau format delapan minggu (atau, mungkin, beberapa kombinasi dari ini) yang akan memungkinkan mahasiswa untuk mengambil satu atau dua kursus sekaligus.
Sekolah-sekolah juga perlu dipersiapkan untuk kemungkinan memulai semester dengan pembelajaran tatap muka dan beralih ke pembelajaran jarak jauh pada tengah semester, atau mungkin sebaliknya. Keputusan manapun yang dipilih, format yang lebih kreatif akan sangat diperlukan untuk memungkinkan sekolah untuk berpindah dari satu sistem ke sistem lain dengan lebih mudah dan memiliki fleksibilitas yang lebih besar.
Memikirkan Kembali Keuangan Universitas
Banyak sekolah telah beroperasi selama bertahun-tahun dengan menghemat anggaran mereka -- mereka dengan setia menjalankan misi pendidikan mereka, dan mencapai banyak hal dengan sumber daya yang sangat terbatas. Ketidakpastian yang terjadi saat ini akan menggarisbawahi kenyataan dan ketegangan ini di sebagian besar kampus. Laporan-laporan anggaran yang serius dan pengurangan personel akan bergema di seluruh negeri. Melakukan merger atau menjalin kemitraan baru akan menjadi kenyataan yang harus dijalani.
Secara keseluruhan, presentase pendaftar perguruan tinggi telah berkurang sekitar 10 persen dalam lima tahun terakhir ini. Namun, dalam waktu dekat beberapa sekolah akan mengalami peningkatan pendaftaran, karena kurangnya pekerjaan selama resesi biasanya mendorong lulusan sekolah menengah dan orang dewasa yang tidak memiliki pekerjaan kembali ke kelas untuk belajar.
Namun demikian, beberapa sekolah perlu mengantisipasi penurunan minat pada musim gugur ini. Banyak mahasiswa baru akan menunda studi mereka dan menunggu satu tahun untuk mendaftar. Laporan menunjukkan bahwa minat terhadap program kursus justru meningkat secara substansial ketika orang mencari alternatif dari pembelajran jangka panjang. Yang lain akan memilih untuk mengambil satu atau dua kelas yang lebih dekat domisili mereka sampai ada kejelasan lebih lanjut.
Beberapa sekolah dengan dana abadi akan tetap berada dalam mode pengawasan karena volatilitas pasar. Ketika ekonomi melambat, donasi yang masuk kemungkinan akan mengalami penurunan. Hal ini mungkin akan lebih menonjol di kampus-kampus yang bergantung pada dana dari yayasan gereja dan sinode denominasi, yang kini juga sedang menghadapi tantangan mereka sendiri.
Tergantung pada Allah
Membahas isu-isu multilapisan dan multidimensi ini tampaknya dapat menjadi suatu pembahasan yang tak berujung, dan berpotensi membuat pengelolaan krisis eksistensial menjadi jauh lebih intens. Para pemimpin perlu menilai situasi mereka dengan hati-hati dan teratur, serta berkomunikasi dengan lebih jelas dan sering.
Staf administrasi maupun staf pengajar perlu mengantisipasi perubahan, tetapi pada saat yang sama menghindari penyimpangan misi pendidikan mereka. Pihak administrasi perlu membuat keputusan yang hati-hati, berkomunikasi secara efektif, menjaga fokus kelembagaan mereka, dan mewujudkan daya juang.
Di tengah-tengah semua hal ini, komitmen, keyakinan, dan belas kasih kristiani harus dipertunjukkan. Dan, di dunia pendidikan tinggi yang sangat kompetitif, momen ini membutuhkan kolaborasi, kemitraan, dan semangat kerja sama dengan lembaga lain.
Pada akhirnya, ini adalah waktu untuk menemukan kembali ketergantungan kita yang lengkap dan penuh doa pada Allah. COVID-19 menyingkapkan bahwa ambisi serta keyakinan bahwa kita dapat memegang kendali adalah sesuatu yang salah dan naif, serta tidak lebih dari sebuah ilusi. Pengakuan seperti itulah yang harus menjadi langkah pertama kita menuju pembaruan yang sejati yang hanya dimungkinkan oleh Roh, terkhusus di kampus-kampus kita dan, secara lebih luas, di antara umat Allah. (t/Yudo)
Diterjemahkan dari:
- Nama situs: TheGospelCoalition.org
- URL: https://www.thegospelcoalition.org/article/future-christian-higher-education/
- Judul Asli: What COVID-19 Means for the Future of Christian Higher Education
- Penulis: David Dockery