Dalam kitab Yesaya, Allah telah mengatakan tidak terhadap hal-hal tertentu yang diinginkan umat-Nya. Mereka diperintahkan untuk tidak menyembah ilah-ilah yang lain. Mereka kurang lebih telah memenuhinya, tetapi penyembahan di Bait Suci mereka menjadi kosong dan tidak berarti — ritual belaka. Allah telah memberi tahu mereka bahwa ibadah mereka tidak boleh seperti ini; tetapi mereka mengabaikan Dia, dan kemurtadan mengikutinya, yang mengakibatkan Bait Suci mereka yang indah menjadi reruntuhan (lihat Yes. 1: 10-18).

Umat Allah merasa sangat tidak enak tentangnya; tetapi, bukannya bersimpati kepada Allah, tetapi mereka malah mengasihani diri sendiri. Mereka menangis ketika memikirkan Yerusalem dan ritual Bait Suci mereka. Mereka tidak menangisi hati mereka yang memberontak dan melawan. Sekarang, setelah tidak ada Bait Suci untuk disembah, mereka tidak menyadari kesalahan mereka untuk kemudian mulai menyembah Allah dengan roh dan kebenaran; mereka hanya menggerutu dan mengomel seperti kebiasaan mereka sejak Musa memimpin mereka keluar dari Mesir. Saat Anda mengasihani diri sendiri, itu merupakan hal yang menyedihkan. Tidak ada sukacita dalam keadaan tersebut! Umat Allah telah benar-benar menggantung kecapi mereka di Pohon Keluhan!

Saya menyadari bahwa ketika saya mengeluh, semangat saya kalah telak. Semangat mengeluh mengarah pada keputusasaan dan merusak hubungan saya. Saya telah mengamati bahwa saya bisa duduk dalam kebaktian dan mulai mengeluh tentang musik, anting-anting remaja di depan saya, atau pencahayaan atau bunga di panggung. Segera semangat ibadah saya lenyap, dan saya diliputi perasaan tidak puas. Anak-anak Israel suka mengeluh — terutama di "gereja." Ini sama sekali tidak berguna untuk mengangkat semangat mereka atau memperkuat jiwa mereka.

Jadi, bagaimana kita menghentikan diri kita dari menggerutu dan mengeluh, yang mengakibatkan hilangnya sukacita kita?

Orang-orang Kristen, yang seharusnya menjadi orang yang paling bersyukur di dunia, seringkali terdengar sebagai pihak yang paling tidak puas. Seolah-olah kita merasa dunia berutang pada kita, alih-alih mengingat bahwa kitalah yang berutang pada dunia. Rasul Paulus menganggap dirinya berutang pada umat manusia. Dia percaya dia berutang penjelasan kepada mereka. Dia juga merasa berutang kepada mereka kehidupan pelayanan dan pengorbanan. Bagaimanapun, dia kaya tanpa batas.

Dia telah mengenal Kristus, Anak Allah yang tak ternilai. Dia memiliki kekayaan rohani yang cukup dan cadangan untuk membayar utangnya. Paulus memiliki lebih banyak alasan daripada kita untuk menggerutu. Dia diburu, dilempari batu, dipenjara, dipukuli, diadili secara tidak adil, dan ditinggalkan oleh teman-temannya. Dia kesepian, lapar, mengalami kapal karam, ditertawakan, tak punya rumah, dan tak berdaya. Akan tetapi, satu-satunya hal yang ia gerutukan adalah kenyataan bahwa tidak ada cukup waktu dalam sehari untuk memberi tahu orang-orang tentang Juru Selamat dan Tuhannya dan untuk membangun gereja-Nya! (t/Jing-Jing)

Diterjemahkan dari: