Selama enam minggu terakhir, 30,3 juta pekerja — mewakili sekitar 18,6 persen dari angkatan kerja A.S. — diberhentikan dari pekerjaan mereka karena pandemi COVID-19. Bagi sebagian besar pekerja ini, pemberhentian itu datang tiba-tiba dan tidak terduga. Tidak banyak yang siap dengan kesulitan ekonomi dan ketidakpastian yang kini mereka hadapi.

Akibatnya, gereja-gereja lokal berhadapan dengan kebutuhan yang tidak terduga dan tidak mengetahui dengan jelas tentang bagaimana mereka akan mengatasinya. Bagi beberapa gereja, masalah yang mereka hadapi terkait dengan masalah keuangan (mis., mereka tidak memiliki dana untuk membantu anggota jemaat mereka). Namun, sebagian lainnya terbentur dengan masalah konseptual — mereka tidak yakin siapa sebenarnya yang perlu mereka tolong, atau pendekatan apa yang akan mereka ambil untuk menjalankan tugas itu.

Untuk kelompok yang terakhir ini, akan sangat berguna bagi mereka untuk memahami konsep perataan konsumsi (smoothing consumption). Dalam ekonomi, konsumsi adalah penggunaan barang dan jasa oleh rumah tangga. Dengan demikian, perataan konsumsi adalah penyeimbangan pengeluaran dan tabungan selama periode waktu tertentu demi mempertahankan standar hidup setinggi mungkin (yang diukur dalam tingkat konsumsi).

Istilah konsumsi seringkali memiliki konotasi negatif karena hubungannya dengan konsumsi yang mencolok (mis., membeli barang atau jasa untuk menonjolkan status seseorang). Akan tetapi, konsumsi adalah salah satu konsep ekonomi pertama yang disebutkan dalam Alkitab (Kejadian 1:29). Demikian pula, perataan konsumsi adalah salah satu konsep ekonomi pertama yang memainkan peran penting dalam sejarah penebusan.

Yusuf dan Perataan Konsumsi

Dalam Kejadian 41, kita membaca bahwa Firaun memiliki dua mimpi yang tidak dapat dia tafsirkan sehingga Yusuf dibawa untuk menjelaskan artinya, yakni tujuh tahun kelimpahan diikuti oleh tujuh tahun kelaparan. Karena kebijaksanaannya dalam menafsirkan mimpi itu, Firaun menugaskan Yusuf untuk melaksanakan rencana perataan konsumsi yang memengaruhi semua penduduk negeri itu.

Situasi ekonomi pribadi kita jarang sedrastis tujuh tahun kelimpahan diikuti oleh tujuh tahun kelaparan. Namun, sepanjang hidup kita, kita sering memiliki — atau setidaknya berharap memiliki — lebih banyak pendapatan yang tersedia untuk dikonsumsi daripada masa-masa kehidupan lainnya.

Sebagai contoh, seorang pekerja muda mungkin sudah memperkirakan bahwa meski saat ini mereka mungkin hanya menghasilkan $40.000 setahun, tetapi setelah sekitar satu dekade (dan beberapa kenaikan gaji) mereka akan menghasilkan pemasukan sebesar $60.000 per tahun. Untuk memperlancar konsumsi, mereka membeli barang-barang (mobil, pakaian, dan sebagainya) secara kredit karena menduga bahwa mereka akan dapat membayarnya dalam beberapa tahun ke depan. Pada saat mereka mencapai separuh kehidupan mereka, mereka dapat membayar semua konsumsi dasar mereka dan masih memiliki beberapa yang tersisa untuk ditabung, yaitu, untuk menunda konsumsi demi masa pensiun mereka pada masa depan. Tahun-tahun pertengahan karir mereka berfungsi untuk memperlancar konsumsi masa muda mereka (melalui kredit) dan juga konsumsi masa tua mereka (melalui tabungan). Hasilnya, walaupun mereka mungkin mengalami kesulitan di sepanjang perjalanan mereka, pekerja kelas menengah ini akan mampu menyeimbangkan pengeluaran dan tabungannya demi mempertahankan standar hidup yang setinggi mungkin selama hidup mereka.

Pola ini harus memengaruhi pemikiran ekonomi orang Kristen dalam setidaknya dua cara. Pertama, kita harus menyadari bahwa semua sumber daya ekonomi kita (seperti pendapatan) adalah pemberian dari Allah untuk tujuan penatalayanan. Kedua, kita dapat mengamati — baik dari Alkitab maupun dari pengalaman langsung — bahwa tingkat sumber daya ekonomi yang diberikan Allah kepada kita cenderung bervariasi sepanjang hidup kita, dan bahwa kita harus merencanakannya dengan tepat.

Tabungan Anda untuk Menyelamatkan yang Membutuhkan

Agaknya, Allah tidak ingin kita berganti-ganti antara tahun "pesta" dan "kelaparan". Sebaliknya, Dia ingin agar kita mengelola sumber daya kita dengan cara yang bertanggung jawab, seperti yang dilakukan Yusuf di Mesir. Dalam catatan Alkitab, dorongan dalam kisah Yusuf ini ditempatkan pada hal tentang penghematan sumber daya untuk penggunaan masa depan (Ams. 6:6-8), daripada meningkatkan konsumsi hari ini (melalui kredit — Ams. 22:7) berdasarkan pada keyakinan bahwa Allah akan menambah sumber daya kita pada masa depan. Inilah sebabnya mengapa para perencana keuangan berbasis Alkitab sering merekomendasikan agar kita memiliki dana darurat yang jumlahnya setara dengan tiga hingga enam bulan pengeluaran rumah tangga (biaya konsumsi).

Efek ekonomi dari pandemi telah menunjukkan kepada kita perlunya mengadopsi pendekatan penyelamatan ini selama tahun-tahun "pesta". Namun, bagaimana dengan mereka yang, karena keadaan atau ketidakpercayaan, tidak menabung selama waktu kelimpahan?

Allah memberi kita sumber daya ekonomi bukan untuk keuntungan kita sendiri, tetapi juga untuk memberkati orang lain (Luk. 6:38). Ini berarti bahwa sebagian dari sumber daya ekonomi -- termasuk tabungan -- yang Allah berikan kepada kita dimaksudkan untuk memperlancar konsumsi orang-orang yang membutuhkan (Ef. 4:28).

Secara umum, ada dua jenis kebutuhan berbasis konsumsi -- jangka panjang dan jangka pendek. Contoh utama dari kebutuhan konsumsi jangka panjang adalah kebutuhan yang dimiliki oleh anak yatim dan janda, kelompok yang sering diingatkan Alkitab kepada kita untuk diperhatikan. Anak yatim mungkin memiliki prospek untuk konsumsi masa depan (sebagai orang dewasa yang bekerja), tetapi karena kehilangan orangtua, mereka kurang bisa memenuhi kebutuhan konsumsi mereka saat ini. Demikian pula, para janda tersebut mungkin dapat memenuhi kebutuhan konsumsi mereka di masa lalu melalui suaminya, tetapi kematian suami mereka telah membuat mereka tidak mampu menyimpan sumber daya ekonomi untuk konsumsi di masa depan. Karena itu, kita dipanggil untuk membantu memperlancar konsumsi mereka dengan berfokus pada kebutuhan mereka saat ini.

Kategori kedua terdiri dari mereka yang membutuhkan konsumsi jangka pendek. Dalam kategori ini adalah mereka yang karena ketidakmampuan atau kesembronoan, tidak memiliki tabungan yang cukup untuk memperlancar daya konsumsi mereka akibat guncangan ekonomi, misalnya karena dirumahkan tanpa digaji. Kita mungkin tidak menganggap mereka sebagai "orang miskin," karena mereka tidak terjebak dalam siklus kemiskinan jangka panjang yang sama. Namun, dampaknya pada kehidupan mereka dan kebutuhan konsumsi saat ini mirip dengan orang-orang yang hidup dalam kemiskinan. Perbedaannya, karena kebutuhan mereka bersifat sementara, mungkin ada harapan bahwa bantuan keuangan yang diberikan kepada mereka dapat dibayar kembali.

Orang-Orang yang Membutuhkan (Yang Tidak Miskin)

Untuk membantu dalam keadaan ini, gereja dapat memfasilitasi pinjaman berbasis kebutuhan di dalam jemaat mereka. Anggota Gereja yang memiliki tabungan yang cukup dapat menyumbangkan dana yang dapat dipinjam oleh anggota lainnya. Ketika uang itu dilunasi, dana tersebut dikembalikan ke pemberi pinjaman asli sehingga mereka dapat mengisi kembali tabungan mereka sebelumnya. (Idealnya, pinjaman ini harus bebas bunga untuk menghindari riba. Dana itu juga dapat dikonversi menjadi hibah bagi orang-orang yang tidak dapat membayar kembali apa yang mereka pinjam.)

Jika lebih banyak gereja di Amerika bersedia menawarkan program-program semacam itu, maka akan lebih sedikit kebutuhan orang Kristen yang mengalami kebangkrutan, beralih ke pemberi pinjaman yang ganas, atau terperosok dalam utang hanya untuk membayar tagihan-tagihan atas kebutuhan dasar mereka.

Merawat orang-orang yang membutuhkan (Ef. 4:28) bukan hanya soal bank makanan dan pembagian kebutuhan sehari-hari saja. Terkadang, cara terbaik untuk membantu adalah menyediakan jembatan keuangan selama masa-masa sulit guna memenuhi kebutuhan jangka pendek. Mengembangkan rencana untuk membantu perataan konsumsi adalah cara yang relatif mudah dan murah yang dapat dilakukan gereja untuk membuat perbedaan besar selama pandemi ini. (t/Yudo)

Diterjemahkan dari: