Alkitab berbicara tentang kebutuhan rasional dan emosional kita. Akan tetapi, bagaimana kita dapat menyeimbangkan keduanya di tengah-tengah ketakutan?
Kita semua membutuhkan lebih banyak "Sense and Sensibility" dalam hidup kita akhir-akhir ini.
Judul novel pertama oleh Jane Austen yang sangat dicintai penggemarnya ini memiliki makna baru pada era COVID-19. Kita membutuhkan lebih banyak Austen -- kecerdasan dan kebijaksanaannya -- saat ini. Namun, kita juga membutuhkan kualitas karakter yang menjadi judul dari novelnya itu. Tidak ada yang menyamai pandemi global -- dengan jarak sosial, karantina sendiri, ketidaknyamanan, penyakit, dan bahkan kematian -- untuk menyadarkan kita mengenai kebutuhan akan rasa maupun kepekaan.
Ketika Austen menerbitkan "Sense and Sensibility" pada tahun 1811, istilah-istilah ini - "sense" dan "sensibility" - secara kasar mengacu pada apa yang kita maksudkan hari ini dengan "akal sehat" dan "emosi." Pada zaman itu, seperti sekarang ini, keduanya sering dianggap bertentangan satu sama lain. Pandangan ini sebagian karena fakta bahwa zaman modern yang dimulai pada abad ketujuh belas ditentukan oleh berkuasanya akal sehat atau logika. Pada saat Austen menulis novel ini, lebih dari seabad setelah Masa Pencerahan, sebuah reaksi terhadap akal sehat muncul dengan gerakan romantisisme. Romantisisme meninggikan 'sensibilitas' (atau kepekaan rasa) dalam bentuk emosi, imajinasi, dan pengalaman estetika. Sejak saat itu, kita telah memilih salah satu di antara keduanya. Dalam kehidupan pribadi, budaya, dan tradisi gereja, kita cenderung memihak satu dengan mengorbankan yang lain.
Namun, Austen cukup bijaksana dalam mengetahui bahwa keunggulan manusia dan tatanan sosial membutuhkan keseimbangan antara akal sehat dan emosi, rasa dan kepekaan. Dalam novel itu, ia mewujudkan setiap kualitas dalam salah satu dari dua karakter utama, kakak beradik Elinor dan Marianne Dashwood. Elinor, sang kakak, adalah perwujudan akal sehat, baik dalam hal hubungan keluarga, ekonomi rumah tangga, kehidupan sosial, atau cinta. Sebaliknya, Marianne adalah perwujudan perasaan dan romantisme, sosok sempurna dari filosofi yang populer saat ini dengan jargon "ikuti kata hatimu."
Kisah itu memperlihatkan bagaimana kedua saudari itu membutuhkan beberapa nilai yang dimiliki satu sama lain. Ketika Elinor menghadapi patah hati dengan ketabahan yang hampir tidak manusiawi, Marianne menegurnya, “Selalu pasrah dan menerima. Selalu berhati-hati, hormat, dan berkewajiban. Elinor, di mana hatimu?”
Sebaliknya, Marianne, yang naif dan bergairah sampai ke titik berbahaya, mempertaruhkan hati, keluarga, dan bahkan hidupnya pada keputusan impulsifnya yang penuh risiko. Setelah hampir mati karena tindakannya yang bodoh, Marianne akhirnya mengakui kepada Elinor bahwa dia melihat kesalahannya: “Aku melihat bahwa perasaanku sendiri telah mempersiapkan penderitaanku, dan bahwa kekurangtabahankulah yang hampir membawaku ke liang kubur. ”
Elinor, juga, melihat kebodohan dari cara hidupnya dan pada akhirnya mampu mengungkapkan cintanya yang mendalam kepada pria yang memiliki hatinya. Dengan kata lain, kedua saudari ini lambat laun dapat saling melihat nilai kualitas karakter mereka.
Tampaknya kita tidak dapat belajar banyak mengenai bagaimana harus hidup dalam masa pandemi ini dari novel yang banyak bercerita tentang keluarga, keputusasaan dan kemenangan romantis, kasih sayang antarsaudara, dan perselisihan keluarga. Namun, seperti yang saya jelaskan dalam pengantar baru saya tentang novel ini, kecemerlangan Austen dalam menunjukkan bahwa latar belakang karakter dalam novelnya bukanlah pada masa-masa yang luar biasa, melainkan pada masa-masa yang biasa. Ketika krisis datang, hal itu menawarkan begitu banyak ujian bagi karakter kita. Salah satu ujian itu adalah bagaimana kita menyeimbangkan tuntutan akal dan emosi. Dengan kata lain, akal sehat dan kepekaan yang kita tunjukkan pada saat krisis dimulai dalam drama kehidupan sehari-hari.
Keseimbangan ini diperlukan oleh karakter kita sebagai individu dan sebagai tubuh gereja.
Karena kita diciptakan menurut gambar Allah, kita memanifestasikan karakter-Nya dalam sifat-Nya yang masuk akal serta dalam kapasitas emosional-Nya. Allah yang disebut dalam Kejadian 1 disebut Sang Firman dalam Yohanes 1: 1. Istilah Yunani yang digunakan di sini adalah "logos," sebuah kata yang menjadi akar dari kata "logis." Istilah ini mewakili segala sesuatu yang rasional dan masuk akal, termasuk hukum alam semesta dan semua ciptaan. Kemampuan yang kita miliki untuk bernalar, untuk memiliki akal sehat, adalah ekspresi dari gambar Allah di dalam kita.
Di seluruh Kitab Suci, kita dipanggil untuk menggunakan kemampuan bernalar ini: "Datanglah sekarang dan biarlah kita beperkara bersama!" firman TUHAN dalam kitab Yesaya (Yes. 1:18). Demikian juga, kita didesak oleh Paulus dalam 2 Korintus 10:5 untuk menggunakan nalar kita demi "meruntuhkan pemikiran-pemikiran dan setiap hal tinggi yang dibangun oleh keangkuhan manusia untuk menentang pengenalan akan Allah."
Kita melihat bukti serupa dalam Alkitab yang menunjukkan adanya kepekaan, baik yang manusiawi dan ilahi. Inkarnasi -- Firman yang menjadi manusia -- sendiri merupakan ekspresi dari emosi. Salah satu makna emosi adalah "gangguan fisik", sebuah respons atau gerakan tubuh. Sebagai Allah yang berinkarnasi menjadi manusia, Yesus sebenarnya adalah kehadiran fisik Allah, kehadiran yang 'mengganggu' alam fisik, serta realitas spiritual yang ada di belakangnya.
Alkitab juga mencatat banyak emosi Yesus. Dia merasakan kesedihan dan dukacita -- bahkan menangis -- pada saat kematian Lazarus. Dia menunjukkan kemarahan ketika dia membalikkan meja-meja pedagang di Bait Suci, dan ketika Dia mencela orang-orang Farisi sebagai "ular" dan "induk ular beludak." Berkali-kali, Alkitab juga mencatat tanggapan pertama Yesus terhadap rasa sakit dan penderitaan manusia adalah perasaan belas kasihan.
Buktinya jelas: Menjadi manusia berarti berpikir dan merasakan. Menyangkal salah satu dengan mengorbankan yang lain sama dengan mendistorsi citra Allah. Namun, bagaimana wujudnya selama krisis kita saat ini?
Akal sehat diwujudkan dalam tindakan pencegahan jangka pendek yang kita semua ambil untuk membendung penyebaran virus: sering mencuci tangan, menjaga jarak sosial, mengkarantina diri, sekolah, dan bekerja dari rumah atau secara daring. semua itu adalah langkah wajar untuk keadaan kita. Dua minggu yang lalu, saya pikir masuk akal untuk pergi ke gym dan hanya ekstra hati-hati dengan sanitasi. Seminggu kemudian, saya berhenti pergi ke sana. Dan ,sekarang gym saya, seperti kebanyakan yang lain, tutup. Yang lebih sulit daripada membuat keputusan untuk diri saya sendiri adalah membantu orang tua saya -- yang sudah tua tetapi sehat dan sering bepergian -- untuk menyesuaikan diri dengan ancaman yang ada saat ini terhadap kesehatan mereka.
Karena keadaan mingguan dan harian berubah, apakah menjadi lebih baik atau lebih buruk, hal-hal yang dianggap sebagai sesuatu yang masuk akal pun berubah. Dengan demikian, emosi kita akan berfluktuasi. Kita akan merasa cemas, takut, kesepian, dan marah tentang apa yang kita pikir akan kita hadapi -- dan apa yang benar-benar kita hadapi. Akan tetapi, dengan rahmat Tuhan, kita juga akan merasakan kasih sayang, cinta kasih, sukacita, kemurahan hati, kebaikan, kesetiaan, kelembutan, dan pengendalian diri.
Alkitab berbicara tentang kebutuhan rasional dan emosional kita selama masa krisis. Amsal 1:33 memberi tahu kita bahwa "Akan tetapi, mereka yang mendengarkan aku akan diam dengan aman dan tenteram tanpa takut terhadap malapetaka." Keamanan adalah keadaan eksternal yang diukur dengan akal sehat dan logika; ketenteraman menggambarkan suatu kondisi internal, perasaan atau emosi. Tuhan menjaga keduanya, dan memanggil kita untuk melakukan hal yang sama. (t/Yudo)
Karen Swallow Prior adalah penulis "Booked: Literature in the Soul of Me", Fierce Conviction: The Extraordinary Life of Hannah More, dan On Reading Well: Finding the Good Life through Great Books. Dia akan memulai musim gugur ini sebagai profesor riset Bahasa Inggris, Agama Kristen, dan Budaya di Southeastern Baptist Theological Seminary.
Diterjemahkan dari:
- Nama situs: Christianity Today
- URL: https://www.christianitytoday.com/ct/2020/march-web-only/covid-19-coronavirus-time-crisis-sense-sensibility.html
- Judul asli artikel: In a Time of Crisis, We Need Both ‘Sense’ and ‘Sensibility’
- Penulis artikel: Karen Swallow Prior