Gen Z Kehilangan Kontak dengan Komunitas Iman Selama Pandemi, tetapi Tetap Memelihara Iman, Ungkap Sebuah Studi
Para peneliti memperingatkan para pemimpin agama, guru, dan orang tua bahwa tidak akan ada pendekatan "kembali ke normal" yang sederhana untuk kaum muda setelah pandemi COVID-19. Sebaliknya, kita semua harus mencari cara untuk membantu mereka mengalami "kondisi normal yang baru".
Itulah argumen dari Springtide Research Institute, yang menyurvei 2.500 anggota Generasi Z (usia 13 hingga 25 tahun) pada Februari 2021 tentang pengalaman dan sikap mereka terhadap pandemi.
Tidak akan mudah bagi kaum muda untuk melanjutkan lagi apa yang sebelumnya mereka tinggalkan, kata Josh Packard, direktur eksekutif Springtide.
"Ada banyak kehilangan yang harus mereka alami," katanya. "Mereka tidak kembali ke semacam normalitas. Dan, mereka membutuhkan bantuan untuk memprosesnya, untuk memahaminya, dan memahami kehidupan mereka sekarang."
Langkah pertama dalam membantu mereka berproses adalah dengan membuat daftar dari semua hal itu tanpa ragu: Wisuda. Pesta kelulusan. Perkemahan musim panas. Kompetisi atletik. Kencan. Orientasi perguruan tinggi. Retret kelompok pemuda religius. Konser sekolah. Pekerjaan pertama. Daftarnya terus bertambah. Dan, itu belum ditambah dengan fakta bahwa banyak anak muda Amerika kehilangan orang yang mereka kasihi di antara hampir 600.000 warga AS yang telah meninggal sejauh ini dalam pandemi.
Sebagian dari yang dapat dilakukan agama adalah membantu orang-orang muda berduka atas pencapaian dan hubungan yang hilang ini. "Kita punya banyak ritual dan tradisi yang sangat hebat dan kaya yang dapat dan harus digunakan di sini untuk membantu kaum muda," kata Packard. Para pemimpin agama dapat memanfaatkan ritual-ritual tersebut untuk membantu remaja dan orang-orang dewasa muda dalam menyebutkan dan meratapi kehilangan mereka. Misalnya, mereka dapat meminta anak-anak muda menuliskan pencapaian-pencapaian yang mereka lewatkan, membicarakan perasaan mereka, kemudian membakar kertas-kertas itu menjadi abu.
Akan tetapi, inilah masalahnya: 9 dari 10 anak muda mengatakan bahwa mereka tidak mendapat perhatian dari pemimpin agama mana pun selama pandemi berlangsung. "Kami mendengar banyak berita tentang para pemimpin agama yang berlomba-lomba melakukan ibadah daring. Dan, pada saat yang sama, kami mendengar dari orang-orang muda bahwa tidak ada yang benar-benar memperhatikan keadaan mereka, terutama para pemimpin agama."
Hanya 10% dari anak-anak muda yang disurvei yang mengatakan bahwa seorang pendeta pernah menanyakan bagaimana keadaan mereka. Dan, hanya 14% yang melaporkan bahwa mereka mencari komunitas agama ketika mereka merasa kewalahan dan tidak tahu harus berbuat apa.
Pada sisi lain, komunitas agama mendapat skor lebih tinggi dibandingkan institusi lainnya dalam pandangan orang muda, yang beranggapan bahwa komunitas agama dapat menangani pandemi. Studi tersebut menemukan bahwa 50% setuju bahwa komunitas agama mereka telah melakukan "pekerjaan hebat dalam menavigasi pandemi" -- yang lebih tinggi dari rapor yang mereka berikan kepada pemerintah. Bahkan, dua pertiga (65%) mengatakan bahwa pemerintah tidak melakukan yang terbaik untuk melindungi masyarakat selama pandemi. Dan, lebih dari setengah responden (57%) mengatakan bahwa mereka akan lebih sulit memercayai orang lain, bahkan keluarga dan teman-teman mereka sendiri, setelah melihat bagaimana cara mereka menangani pandemi.
Packard tertarik karena setengah dari kaum muda menganggap komunitas agama mereka telah berhasil mengelola pandemi COVID dengan baik, meskipun 90% melaporkan tidak menerima kontak pribadi dari pendeta.
Dia juga menjadi berbesar hati dengan temuan penelitian bahwa iman pribadi orang-orang muda kurang lebih tetap stabil meskipun memiliki banyak pergolakan. Kira-kira setengah responden (47%) mengatakan iman mereka tetap sama dalam krisis, lebih dari seperempat (26%) mengatakan iman mereka bertumbuh lebih kuat, dan lebih dari seperempat responden (27%) menyatakan bahwa mereka meragukan atau telah kehilangan iman mereka.
Laporan Springtide mengidentifikasi delapan area untuk memberikan perhatian pada Generasi Z, termasuk saran di atas untuk membantu mereka berduka. Packard mengatakan bahwa data menunjukkan bahwa tidak semua anak muda ingin cepat-cepat kembali ke masyarakat; ingat, setahun yang telah lewat tidak hanya penuh dengan ketidakpastian pandemi, tetapi juga protes-protes rasial dan para pemilih terpecah yang berbahaya. Semuanya itu telah memakan korban.
"Saya pikir untuk melangkah keluar dari pandemi, para pemimpin agama dan orang dewasa tepercaya akan mengingat dengan baik bahwa itu akan menjadi proses keluar yang penuh dengan tekanan seperti halnya saat memasukinya," kata Packard. "Banyak orang memberi tahu kami bahwa mereka tidak nyaman untuk keluar dari pandemi, bahwa mereka merasa mungkin diminta untuk berkelompok lebih cepat tanpa melihat kesiapan mereka untuk bergabung."
Namun, inilah hikmahnya. Hampir 7 dari 10 anak muda yang disurvei mengatakan bahwa mereka memiliki apresiasi baru terhadap hubungan, dan mereka "tidak akan menerima begitu saja berbagai hubungan dan peluang seperti sebelumnya." (t/N. Risanti)
Diterjemahkan dari: | ||
Nama situs | : | Religion News Service |
Alamat situs | : | https://religionnews.com/2021/05/31/gen-z-lost-touch-with-faith-communities-during-pandemic-but-kept-the-faith-says-study/ |
Judul asli artikel | : | Gen Z Lost Touch With Faith Communities During Pandemic But Kept the Faith, Says Study |
Penulis artikel | : | Jana Riess |