Bagaimana Jemaat di Hong Kong merawat sesama dan mengarahkan mereka kepada Injil dalam masa pandemi?
Katekismus Kecil Luther, dalam penjelasannya dalam pertintah kelima, berbunyi, "Kita harus takut dan mengasihi Allah agar kita tidak menyakiti atau melukai tubuh sesama kita, tetapi menolong dan mendukungnya dalam segala kebutuhan fisik." Penjelasan gereja saya (Gereja Lutheran Sinode Missouri/LCMS) tentang hal ini memperjelas bahwa kita diminta untuk menawarkan bantuan di mana pun bantuan itu dibutuhkan dan menghindari tindakan yang mungkin, meskipun secara tidak sengaja, bisa menyakiti orang lain karena kelalaian kita. Kita tidak hanya harus, seperti Orang Samaria yang baik hati, menolong orang yang tergeletak di jalan; kita harus membayar pajak kita untuk membiayai polisi lalu lintas agar perampokan bisa berkurang. Tugas untuk peduli itu bukan saja dalam, tetapi juga luas.
Kepekaan semacam ini punya akar yang mendalam pada masa-masa kekacauan. Orang Kristen dahulu terkenal dalam memedulikan korban wabah penyakit, baik wabah Antonine maupun Cyprian yang berujung kepada peran menonjol orang Kristen. Sejarawan religi, Rodney Stark, mengklaim bahwa respons orang Kristen terhadap wabah Cyprian menurunkan angka kematian dalam komunitas Kristen sampai sekitar 2/3, bahkan tindakan itu menghasilkan banyak pertobatan, sehingga mempercepat penyebaran kekeristenan ke seluruh Kekaisaran Romawi.
Mengarahkan kepada Injil di Tengah Kepanikan
Pada tahun 1527, Martin Luther ditanya tentang bagaimana seharusnya respons orang Kristen terhadap wabah penyakit. Pertanyaan itu bukanlah pertanyaan hipotesis: Bubonic Plague (Wabah Hitam) sudah menyerang wilayah tersebut. Orang-orang Kristen merasa takut, dan mengingat pentingnya Luther terhadap gerakan tersebut, pangeran-pangeran Protestan mendesaknya untuk pergi menyelamatkan diri.
Dia menolak, dan justru menulis risalah pendek yang sekarang dikenal dengan nama "Whether One May Flee From A Deadly Plague" (Apakah Seseorang Dapat Mengungsi dari Wabah Mematikan - Red.). Luther berpendapat bahwa orang Kristen memiliki tugas ganda untuk merawat mereka yang sudah Allah tempatkan di jalan kita melalui pekerjaan kita, bersanding dengan tugas untuk memelihara tubuh yang telah ditempatkan Allah dalam penatalayanan kita. Jadi, kita memang bisa mengungsi dari wabah penyakit untuk keamanan, kecuali kita memiliki tugas untuk (merawat) mereka yang tidak bisa mengungsi.
Luther memperjelas bahwa petugas pemerintah tidak bisa mengungsi dari kota yang terdampak, pendeta tidak dapat meninggalkan domba-dombanya (khususnya di balik layar jika sangat perlu untuk tidak bertemu selama satu musim), orangtua tidak bisa menjauhkan diri dari tugas perawatan mereka terhadap anak-anak yang sakit, dan tetangga tidak bisa meniadakan tugas tersirat dari keramahan. Kasihilah sesama Anda, baik yang sakit maupun sehat. Namun, jika mereka pergi dan Anda tidak punya tugas lain, Anda bisa pergi juga. Dan, tentu saja, jika pemerintah memerintahkan untuk karantina, atau "cordon sanitaire" (penjagaan untuk tidak keluar - Red.), atau pemindahan, orang Kristen dapat mengikutinya.
Namun, Luther menyatakannya dengan jelas bahwa dia bermaksud untuk memerintahkan sikap kepedulian bahkan hingga mati, dengan mengatakan bahwa orang Kristen seharusnya tidak takut pada "panas yang tidak seberapa itu", dan "kematian adalah kematian, bagaimana pun juga ia akan datang". Orang Kristen tidak meninggalkan salib mereka karena menjadi semakin berat. Kita mati di atasnya.
Saya sadar dengan beban pendekatan semacam ini karena saya menghidupinya. Istri dan saya, serta anak perempuan kami yang baru lahir, tinggal di Hong Kong, tempat kami melayani sebagai misionaris di Sinode Lutheran Church-Hong Kong. Kami berada di depan pintu COVID-19 selama beberapa minggu, dengan pemerintah yang gagal mengambil langkah pencegahan dasar sampai setelah penularan lokal telah terjadi. Penerbangan sudah dilarang, persediaan dasar menipis, sekolah dibatalkan, dan jalanan kosong. Orang-orang menimbun masker, beras, tisu toilet, hand sanitizer, mendapatkan kebutuhan mereka sementara persediaan masih banyak. Iblis akan ketakutan fana, musuh yang sangat jarang ditemui di masyarakat modern, mengintai jalan-jalan kita.
Kami sudah diberkati untuk melayani tubuh gereja di Hong Kong yang tidak gemetar di hadapan iblis itu. Pelayanan Allah tidak berhenti karena wabah penyakit. Saat tiap hari membawa ketidakpastian dan kekhawatiran baru tentang betapa akan semakin buruknya kondisi, kita harus percaya bahwa Allah akan memberi kita anugerah yang cukup (dan hand sanitizer yang cukup) untuk hari ini. Pada waktu ketakutan, apa yang dibutuhkan sesama kita adalah bahwa Allah-lah gunung batu mereka, bukan pendeta yang menciut sebelum bahaya fisik melanda. Saat kematian terasa dekat, janji akan kehidupan kekal harus ditarik lebih dekat. Saat penyakit bisa mengintai dalam setiap jabat tangan, tangan penyembuh dari Raja segala rajalah yang paling dibutuhkan. Komunitas kita membutuhkan janji Injil saat ini lebih dibanding sebelumnya.
Bagaimana Gereja Kami di Hong Kong Menanggapi
Namun, tentu saja, pemahaman sains modern benar-benar menyulitkan kenyataan ini. Kita tidak menolong sesama kita jika kita memaparkannya kepada kuman mematikan melalui kelalaian kita. Dan memang, institusi agama telah menjadi pusat dari COVID-19: di Washington, D.C., kasus pertama yang dikonfirmasi adalah rektor dari sebuah gereja Episkopal. Jadi, wajah orang Kristen memiliki dua sisi tugas: untuk menghibur mereka yang menderita, tetapi untuk tidak menulari yang lemah tubuh. Untungnya, saya percaya tugas ini bisa dijalankan dengan sungguh-sungguh.
Untungnya, gereja kami di Hong Kong telah terkonfirmasi nol terhadap kasus COVID-19, dan kami sudah mencari cara untuk menurunkan keanehan penularan dengan mengambil langkah tepat dalam konteks khusus kita untuk mengasihi sesama dalam masa wabah. Semua yang hadir diperiksa suhu tubuh mereka dan dicatat di depan pintu: langkah yang sudah diadopsi di beberapa negara yang telah mengalahkan COVID-19, seperti Taiwan, Macau, dan Singapura. Gereja kami juga telah menjalankan "spaced out seating" (duduk dengan jarak antar kursi yang cukup jauh - Red.), mengadopsi praktik perjamuan kudus yang steril dan menahan diri untuk memberikan piring persembahan. Kami sudah tidak lagi melakukan praktik salam damai antar jemaat yang di dalamnya termasuk berjabat tangan (berbahagialah para introvert!), dan semua permukaan di dalam ruang diberi desinfektan secara teratur. Hal-hal ini hanyalah sebagian kecil dari tindakan yang sudah kami ambil. tindakan-tindakan ini tidak dapat sepenuhnya menjamin keamanan di gereja. Khususnya di gereja-gereja yang sangat besar dengan anggota ratusan lebih, terdapat prosedur virtual bukan sanitasi yang bisa melindungi jemaat. Semua tindakan ini sejalan dengan apa yang telah direkomendasikan CDC, dan tindakan semacam itu dapat menurunkan risiko dari infeksinya.
Intinya adalah, kita harus melakukan apa pun yang kita bisa untuk melakukan pencegahan yang tepat, dan dianjurkan untuk melindungi sesama kita.
Tempat Perlindungan di Tengah Ketakutan
Namun, COVID-19 adalah kesempatan besar untuk bersaksi. Komunitas kita penuh dengan orang-orang yang ketakutan. Depresi, kecemasan, dan bunuh diri adalah hal-hal yang mungkin akan terjadi dalam beberapa minggu ke depan. Saya menjamin Anda hal ini: COVID-19 datang bersamaan dengan epidemi kesehatan mental. Perasaan kehilangan komunitas, aktivitas luar ruang, pekerjaan, sekolah, individu, dan keluarga akan menghadapi serangan dalam pikiran mereka yang belum pernah terjadi sebelumnya. Gereja harus merespons. Kita harus menjadikan ibadah fisik kita sebagai tempat yang aman, mengadopsi standard kebersihan yang lebih tinggi daripada masyarakat yang lebih luas, sehingga kita dapat menyediakan perlindungan bagi pikiran dan jiwa orang-orang yang takut.
Karena COVID-19 secara khusus dinyatakan berbahaya bagi lansia, gereja-gereja bisa menangkap kesempatan ini untuk mengirimkan makanan dan bahan kebutuhan dasar kepada lansia di komunitas mereka agar mereka tidak perlu pergi ke luar rumah. Langkah ini akan menyelamatkan banyak nyawa, pelayanan kepada jiwa saudara/i kita, dan menjadi saksi bagi sesama di sekitar yang melihatnya.
Karena COVID-19 berdampak pada pembatalan sekolah, keluarga-keluarga Kristen dapat menyelenggarakan sharing orangtua untuk anak-anak dalam kelompok kecil, dan menjadikannya peluang untuk pemuridan di rumah, yang telah terbukti punya dampak yang besar dan bermanfaat.
Karena COVID-19 akan menyebabkan banyak orang merasa takut, orang Kristen bisa, jika sesuai, bertemu dengan teman saat makan malam atau minum kopi dan membahas tentang rasa takut, dan Allah yang menyingkirkan semua ketakutan. Kita bisa menjelaskan kalau kita juga sama takutnya seperti orang lain, bahwa kita bukanlah orang yang benar-benar berani, tetapi Kristus mati bagi kita. Siapa yang harus kita takuti? COVID-19? Sepertinya tidak mungkin.
Karena kekurangan bahan kebutuhan dasar sudah pasti terjadi, orang Kristen bisa memberi teladan melalui dukungan komunitas. Gereja kita bisa mengumpulkan masker, sabun, dan bahan-bahan lain, lalu disalurkan sesuai kebutuhan. Gereja kami menyalurkan persediaan masker selama seminggu untuk siapa pun yang hadir pada Minggu pagi, saat sebagian besar keluarga gereja kami, termasuk keluarga saya sendiri, setidaknya telah selesai untuk membagikan persediaan sampai tidak ada lagi yang tersisa. Ketika mereka memiliki dua sabun tangan kecil yang tersisa, orang Kristen akan memberikan sabun yang pertama.
Inilah kesaksian para pendahulu kita dalam iman semenjak dahulu; inilah jalan yang mereka lalui; ini adalah bagaimana kita mengasihi sesama kita. Kita mengasihi sesama kita seperti diri kita sendiri, bahkan mempertaruhkan nyawa kita bagi mereka. Dan, yang terpenting, ini juga adalah bagaimana kita menurunkan penyebaran COVID-19 tanpa membiarkan epidemi kesehatan mental (berkembang): dengan penjagaan kebersihan yang ketat, tetapi dengan saksi yang murah hati. (t/Nikos)
Diterjemahkan dari:
- Nama situs: ERLC
- URL: https://erlc.com/resource-library/articles/the-church-must-be-a-refuge-in-the-midst-of-fear
- Judul asli artikel: The Church Must Be a Refuge in the Midst of Fear
- Penulis artikel: Lyman Stone