Seorang rekan hamba Tuhan menulis, "Sangat mungkin saat ini dunia sedang mengalami pandemic fatigue, yaitu kelelahan akibat pandemi yang berkepanjangan tiada akhir." Cukup banyak orang mulai hidup dalam kesusahan, kekhawatiran, dan hari depan yang tidak menentu sehubungan dengan maraknya kematian di mana-mana.

Dari mana kita memperoleh kekuatan dan kepastian bagi masa depan kita? Saat menulis artikel ini, saya mendapat kabar lagi.Seorang alumni SAAT yang pernah menjabat sebagai Sekum GRIA baru dipanggil Tuhan kembali ke rumah Bapa di surga (Yohanes 14:3). Menghadapi semua itu, mari belajar bersandar pada firman yang kekal.

Khusus dalam Doa Bapa Kami yang diajarkan oleh Tuhan Yesus:

"Bapa kami yang di sorga,
Dikuduskanlah nama-Mu,
datanglah Kerajaan-Mu,
jadilah kehendak-Mu
di bumi seperti di sorga.
Berikanlah kami pada hari ini
makanan kami yang secukupnya
dan ampunilah kesalahan kami,
seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami;
dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan,
tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat.
[Karena Engkaulah yang empunya
Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan
sampai selama-lamanya. Amin.]"
(Matius 6:9-13)

Dalam bagian terakhir dari Doa Bapa Kami disebutkan, "Engkaulah yang empunya kuasa", suatu pengakuan bahwa Bapa kitalah yang empunya kuasa atas hidup kita, maka kita pun harus hidup dalam kuasa-Nya. Dalam Doa Bapa Kami, ada beberapa hal yang Tuhan ingin agar kita hidupi dalam kuasa-Nya, antara lain sebagai berikut.

Pertama, orang yang hidup dalam kuasa-Nya harus percaya bahwa Allah Bapa dapat memelihara kita dari hari ke hari seperti yang diajarkan-Nya, "Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya." Jadi, orang yang hidup dalam kuasa-Nya tidak perlu khawatir tentang apa yang akan dimakan, diminum, atau dipakai pada hari esok, khususnya dalam masa pandemi yang tidak menentu ini. Seperti yang Tuhan pesankan, "Sebab itu janganlah kamu kuatir dan berkata: Apakah yang akan kami makan? Apakah yang akan kami minum? Apakah yang akan kami pakai? ... Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu. Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari." (Matius 6:31, 33-34) Percayakah kita akan kuasa Tuhan yang sanggup memelihara hidup kita? Kalau masih kurang mantap, peganglah janji Tuhan yang Dia sampaikan kepada jemaat Roma, yang keadaannya lebih parah daripada kita sekarang, "Sebab itu apakah yang akan kita katakan tentang semuanya itu? Jika Allah di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita? Ia, yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimanakah mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia?" (Roma 8:31-32) Semoga janji-janji Tuhan tersebut meneguhkan iman kita untuk hidup dalam kuasa-Nya untuk pemenuhan kebutuhan hidup kita setiap hari.

Kedua, orang yang hidup dalam kuasa-Nya juga harus percaya bahwa kuasa Allah Bapa sanggup serta memampukan kita untuk mengampuni orang yang bersalah kepada kita. Untuk percaya bahwa Allah Bapa sanggup mengampuni segala kesalahan kita, kita semua sudah pasti meyakininya. Akan tetapi, untuk mengampuni orang yang bersalah kepada kita, tunggu sebentar! Bicara itu gampang, tetapi melakukannya tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, apalagi kalau kesalahan tersebut berupa pengkhianatan atau kita ditusuk dari belakang oleh saudara-saudara palsu, seperti yang Paulus sebutkan, "Dalam perjalananku aku sering diancam bahaya banjir dan bahaya penyamun, bahaya dari pihak orang-orang Yahudi dan dari pihak orang-orang bukan Yahudi; bahaya di kota, bahaya di padang gurun, bahaya di tengah laut, dan bahaya dari pihak saudara-saudara palsu." (2 Korintus 11:26) Saya tidak tahu apakah Anda pernah mengalami pengkhianatan dari saudara-saudara palsu. Kalau sudah pernah dikhianati, pastilah pahitnya melebihi ketika orang berutang kepada Anda, tetapi tidak menepati janji untuk membayar kembali (kalau jumlahnya tidak besar!), kecuali jika kita mempunyai hati seperti Yesus, yang mengajarkan, "Tetapi kepada kamu, yang mendengarkan Aku, Aku berkata: Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu; mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi orang yang mencaci kamu. ... Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati." (Lukas 6:27-28, 36)

Kalau kita membaca konteks pengajaran di atas, kita akan menemukan bahwa pengajaran itu didahului dengan catatan ketika Yesus memilih kedua belas murid-Nya, kemudian dinyatakan bahwa ada seorang yang akan menjadi pengkhianat, "Ketika hari siang, Ia memanggil murid-murid-Nya kepada-Nya, lalu memilih dari antara mereka dua belas orang, yang disebut-Nya rasul: Simon yang juga diberi-Nya nama Petrus, dan Andreas saudara Simon, Yakobus dan Yohanes, Filipus dan Bartolomeus, Matius dan Tomas, Yakobus anak Alfeus, dan Simon yang disebut orang Zelot, Yudas anak Yakobus, dan Yudas Iskariot yang kemudian menjadi pengkhianat." (Lukas 6:13-16, bd. Markus 3:19)

Seharusnya, kalau sudah tahu bahwa Yudas akan mengkhianati Yesus, ya jangan dipilih dong! Benar, tidak? Namun, Yesus tidak demikian. Ia tetap memilih Yudas untuk memberi kesempatan kepadanya agar mau berubah dengan menyaksikan langsung kehidupan Yesus, menyerap pelajaran-pelajaran hidup yang diajarkan-Nya, dan pelayanan Yesus yang penuh kasih dan tidak bersyarat (melayani semua orang berdosa). Bahkan, ia dipercaya menjadi bendahara Tim PI Yesus (Yohanes 13:19). Sebenarnya, Yudas juga mempunyai hak memilih untuk berubah atau tidak berubah dalam mengikuti dan menjadi murid Yesus selama 3,5 tahun, tetapi sayang sekali, ia tidak punya tekad untuk berubah. Bahkan, walau sudah diperingatkan oleh Yesus pada malam terakhir sebelum Yesus disalibkan, Yudas menyambut iblis ke dalam hatinya dan mengkhianati-Nya dengan menjual Yesus hanya dengan harga upah seorang budak selama setahun pada zaman itu, yaitu 30 uang perak. Begitu murah-Nya Yesus di mata Yudas! "Dan sesudah Yudas menerima roti itu, ia kerasukan Iblis. Maka Yesus berkata kepadanya: 'Apa yang hendak kauperbuat, perbuatlah dengan segera.'" (Yohanes 13:27, bd. Matius 27:9)

Sekalipun dikhianati, di atas kayu salib, Yesus, yang mengajarkan, "Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu," telah mempraktikkan ajaran-Nya itu dengan berulang-ulang berdoa, "Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat." (Lukas 23:34) Tentu Yesus juga mendoakan Yudas agar Allah Bapa mengampuninya, tetapi Yudas ternyata lebih memilih untuk gantung diri walau sebelumnya telah menyesal! (Matius 27:3-10)

Pengajaran Yesus untuk mengampuni orang yang bersalah kepada kita dan tidak membalas kejahatan dengan kejahatan kemudian diteruskan juga oleh Petrus, rasul yang pernah menyangkal Yesus tiga kali dan dipulihkan Yesus, serta Paulus, yang menyebut dirinya orang paling berdosa dari semua orang yang pernah hidup di dunia ini (1 Petrus 3:9, Roma 12:17, dan 1 Timotius 1:15). Mengampuni saudara-saudara palsu yang pernah mengkhianati kita memang tidak mudah, tetapi Rasul Paulus memberi saran tentang bagaimana kita dapat melakukannya, yaitu dengan memohon kekuatan dari Tuhan, "Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku" (Filipi 4:13), apalagi mengingat pesan Tuhan Yesus yang terakhir sebelum Dia kembali ke surga agar kita melakukan segala sesuatu yang Dia perintahkan (Matius 28:20). Sungguh sangat berat. Bahkan, Rasul Paulus sendiri berkata, "Saudara-saudara, aku sendiri tidak menganggap, bahwa aku telah menangkapnya, tetapi ini yang kulakukan: aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku." (Filipi 3:13) Oleh karena itu, saudara-saudariku yang dikasihi Kristus, mari kita terus berusaha dengan kuasa Tuhan untuk mengampuni saudara-saudara palsu tersebut, jikalau ada, hingga tempat kita di rumah Bapa di surga telah disiapkan Tuhan Yesus (Yohanes 14:3).

Dan, yang ketiga, mungkin yang paling berat, ialah hidup dalam kuasa Allah untuk tidak masuk ke dalam pencobaan, tetapi dilepaskan dari yang jahat. Sekalipun kita telah diselamatkan oleh Kristus, lahir baru, dan menjadi anak-anak Allah serta didiami oleh Roh Kudus (Efesus 1:13), kita harus mengakui dan sadar bahwa kita dilahirkan dalam dosa, seperti yang dinyatakan Daud, "Sesungguhnya, dalam kesalahan aku diperanakkan, dalam dosa aku dikandung ibuku." (Mazmur 51:7) Bahkan, Paulus yang sudah menjadi rasul itu berseru, "Aku, manusia celaka! Siapakah yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini? Syukur kepada Allah! oleh Yesus Kristus, Tuhan kita. Jadi, dengan akal budiku aku melayani hukum Allah, tetapi dengan tubuh insaniku aku melayani hukum dosa," (Roma 7:24-26) apalagi kalau kita tahu bahwa dalam diri kita sebagai mantan manusia berdosa masih ada "keinginan daging dan keinginan mata serta keangkuhan hidup" yang bukan berasal dari Bapa, melainkan dari dunia (1 Yohanes 2:16). Rasul Yohanes mengingatkan penerima suratnya yang adalah "... orang yang percaya, bahwa Yesus adalah Kristus, lahir dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi Dia yang melahirkan, mengasihi juga Dia yang lahir dari pada-Nya." (1 Yohanes 5:1) Namun, ia juga menegaskan, "Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita ... maka kita membuat Dia menjadi pendusta dan firman-Nya tidak ada di dalam kita," (1 Yohanes 1:8, 10) yang walaupun sudah sering membaca dan menghafal ayat-ayat Alkitab, belajar dan mengajarkannya, kita masih harus memohon kuasa dan pimpinan Tuhan setiap hari untuk tidak masuk "ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat," seperti yang diajarkan-Nya dalam Doa Bapa Kami tersebut, yaitu memohon pimpinan-Nya setiap hari. Sebab, Yesus tahu bahwa "roh memang penurut, tetapi daging lemah" (Matius 26:41, Markus 14:38). Paulus mengingatkan bahwa kita baru dapat hidup dalam kuasa-Nya dan menjadi pemenang hanya apabila hidup kita tiap hari dipimpin oleh Roh Kudus atau Roh Kristus, yang adalah juga Roh Allah, sebagai anak-anak Allah (Roma 8:14, Galatia 5:25). Maukah saudara-saudariku? Amin.

Ditulis oleh: Bob Jokiman