Dua belas kata transformasional untuk memimpin di masa yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Kami tidak tahu harus berbuat apa, tetapi mata kami tertuju pada-Mu.
Ketika seorang raja di Perjanjian Lama, Yosafat, menerima kabar bahwa tiga pasukan telah bersekongkol bersama untuk melawannya dalam satu serangan besar-besaran, dia membuat langkah kepemimpinan yang tegas dan tidak konvensional.
Semua pemimpin di seluruh dunia berada dalam kesulitan yang sama.
Dihadapkan dengan perkembangan tiga cabang dari pandemi kesehatan global, ekonomi dunia yang terhenti, dan krisis kecemasan dan ketakutan pribadi — apa yang dapat kita pelajari dari pemimpin kuno yang dapat diterapkan saat ini?
Peluangnya tidak bagus bagi Yosafat, dan, sejujurnya, itu tidak terlalu bagus bagi banyak keluarga dan bisnis saat ini.
Jauh di lubuk hati, kebanyakan pemimpin yang telah melewati badai yang parah tahu bahwa kita akan melewatinya. Kita selalu begitu. Kita akan menanggung malapetaka dan muncul dari kedalaman untuk bertumbuh dan makmur lagi. Akan tetapi, itu akan memakan waktu — waktu yang lama. Saat ini, kita berada di lembah bayang-bayang kematian.
Jadi, bagaimana kita memimpin melalui saat-saat gelap ini?
Mari kita melihat lebih dekat jalan yang dipilih Yosafat.
Pertama, dia menyuruh orang-orang untuk mencari Allah. Raja menaikkan doa dua belas kata yang mengubah ini— Kami tidak tahu harus berbuat apa, tetapi mata kami tertuju pada-Mu.
Kita tidak semuanya memiliki kebebasan untuk secara bersama-sama menyuruh orang-orang kita untuk mencari Allah. Akan tetapi, setiap pemimpin memiliki kesempatan untuk secara pribadi mencari pertolongan dari surga sebelum memimpin orang lain ke medan perang.
Secara alami, pemimpin percaya diri, terampil, dan diuji dalam pertempuran. Begitu sering kita bangun dari tempat tidur dan mulai memimpin tugas. Sangat mudah untuk bangun, mengamati medan, dan segera berfokus pada penyelesaian masalah, menciptakan peluang, dan mengatur pasukan.
Namun, pada akhirnya, setiap pemimpin hanya bisa tahan lama sejauh kerendahan hati yang menopang mereka — kerendahan hati yang mendorong mereka untuk mencari pertolongan dari Tuhan terlebih dahulu.
Ciri khas dari setiap pemimpin hebat adalah kemampuan memimpin diri sendiri. Ini berarti menghadapi keterbatasan Anda dan bersandar pada Pencipta Anda. Kita memimpin dengan paling baik dengan mempersilakan Allah memimpin kita.
Beberapa orang keberatan: -Anda tidak bisa rendah hati dalam pekerjaan saya. Anda tidak akan pernah bisa menunjukkan kelemahan atau orang akan mengalahkan Anda! "
Kerendahan hati tidak sama dengan kelemahan. Sebaliknya, di situlah kita menemukan kekuatan kita. Atau lebih baik lagi, kerendahan hati adalah tempat kita mengakses persediaan dari Allah.
Terpaan angin topan, membutuhkan kepemimpinan yang luar biasa — kepemimpinan yang dimulai dengan permohonan ini: Ya Tuhan, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Tapi mataku tertuju pada-Mu.
Tidak selalu bijaksana untuk menghadiri kunjungan pemegang saham atau rapat staf dengan pengakuan ini. Orang-orang mencari stabilitas pada pemimpin mereka dan mengandalkan kita untuk memproyeksikan kepercayaan diri dalam skenario terburuk seperti yang kita hadapi saat ini. Akan tetapi, itu tidak menghalangi kita untuk secara pribadi tetap melekat pada kenyataan bahwa kita sepenuhnya bergantung pada Allah. (Tidak ada salahnya untuk mengatakannya sesekali kepada pemimpin tim terdekat kita juga).
Sikap kerendahan hati ini penting karena menempatkan kita untuk bantuan supernatural.
Sepatah kata datang kepada raja dan rencana pertempuran mulai dijalankan. Yosafat diberi tahu, -Kamu tidak perlu bertempur dalam peperangan ini. Berdirilah tegak, dan lihatlah kemenangan dari Tuhan yang menyertaimu, hai Yehuda dan Yerusalem. Jangan takut dan jangan gentar. Majulah besok menghadapi mereka. Tuhan akan menyertaimu- (2 Taw. 20:17).
Allah tidak meminta Anda untuk terlalu merendahkan situasi Anda: -Hai teman-teman, kita hanya akan memercayai Allah atas usaha kita dan melihat apa yang terjadi! Duduklah dan bersantai.-
Tidak mungkin.
Lihatlah semua kata kerja aktif: Berdirilah tegak. Lihatlah. Majulah. Hadapi mereka.
Namun, saat Anda pergi, pertahankanlah oksigen dari suplai supernatural Allah yang mengalir dalam setiap napas Anda. Dalam kekuatan Roh-Nya, Anda dapat menemukan kekuatan untuk melakukan apa yang dilakukan Yosafat selanjutnya.
Dia berangkat. Dia berdiri. Dia berbicara. (ay. 20)
Berangkatlah dengan iman bahwa Allah menyertai Anda.
Berdirilah di atas Batu Karang.
Bicaralah dengan otoritas karena Allah tidak akan gagal.
Kemudian, Yosafat melakukan satu hal terakhir sebelum berangkat ke pertempuran — dia memuji Tuhan. Raja berterima kasih kepada Allah sebelumnya atas kemenangan yang Ia janjikan.
Dengan pertolongan Allah, Yosafat dan pasukannya mengalami pembebasan Allah dalam pertempuran itu. Dengan cara yang sama, Allah akan membebaskan Anda.
Ya Tuhan, aku memandang kepada-Mu. Usiklah rasa kendaliku yang palsu dan kepercayaan diriku yang berlebihan pada kemampuan diri sendiri. Aku dengan rendah hati sujud menyembah, dan memohon kekuatan supernatural, kebijaksanaan, dan keberanian dari-Mu, sehingga aku dapat bertahan hari ini dan memimpin diri sendiri dan orang lain dengan iman untuk masa depan. Doaku setiap hari adalah: Aku tidak tahu harus berbuat apa, tapi mataku tertuju pada-Mu. Pimpin aku dan gunakan aku sebagai agen untuk kemuliaan-Mu. Dalam nama Yesus, Amin. (t/Jing-Jing)
Diterjemahkan dari: | ||
Nama situs | : | Christianity Today |
URL | : | https://www.christianitytoday.com/ct/2020/april-web-only/we-dont-know-what-to-do-but-our-eyes-are-on-you.html |
Judul asli artikel | : | ‘We Don’t Know What to Do, But Our Eyes Are on You.’ |
Penulis artikel | : | Louie Giglio |