Apa yang saya pelajari tentang penderitaan dan pengharapan dari membaca novel Albert Camus selama masa pandemi.
Mungkin cara termudah untuk mengenal sebuah kota adalah dengan memastikan bagaimana orang-orang di dalamnya bekerja, bagaimana mereka mencintai, dan bagaimana mereka mati.
Begitulah cara Albert Camus, filsuf dan penulis Prancis, memperkenalkan kota pelabuhan Oran pada bagian awal novelnya "The Plague". Saya diharuskan membaca novel tersebut dan mendiskusikannya dengan siswa musim gugur ini di Wheaton College. Sebenarnya, ini adalah Buku Inti perguruan tinggi untuk tahun ini, yang berarti bahwa seluruh kampus sedang membaca, merenungkan, dan mendiskusikannya sebagai tindakan pembelajaran komunal selama musim Adven ini dan sepanjang tahun.
Novel ini bercerita tentang warga Oran dan bagaimana mereka merespons ketika kota mereka dikuasai oleh wabah pes, yang didasarkan pada peristiwa sejarah oleh Camus, seorang ateis. Salah satu tokoh dalam novel, Dr. Bernard Rieux, mewujudkan filosofi absurdis Camus, yang menegaskan bahwa satu-satunya pilihan umat manusia ketika dihadapkan pada tidak adanya makna yang melekat dalam hidup adalah sekadar mengenali absurditas kondisi kita dan hidup dalam tekanan.
-Oh, saya tahu ini situasi yang tidak masuk akal,- komentar Dr. Rieux pada satu titik dalam cerita, -tetapi kita semua terlibat di dalamnya, dan kita harus menerimanya apa adanya.- Camus tahu bahwa pandangan seperti itu bertentangan dengan iman Kristen, dan dia bahkan membandingkannya dengan ajaran sesat klasik lainnya. Filosofinya membuat kita mengangkat bahu -- tentu saja, ini adalah kenyataan yang aneh dan tidak berarti -- tetapi apa yang dapat Anda lakukan? Sangat jauh dari penegasan Kristen tentang ciptaan Allah yang baik, pemeliharaan ilahi, bahkan di tengah-tengah penderitaan, dan kerelaan Yesus untuk mengambil rupa manusia.
Semua itu tampaknya menjadikan "The Plague" sebagai pilihan aneh dari bacaan bersama sebuah perguruan tinggi Kristen. Namun, seperti yang saya ingatkan pada semester ini, kita bisa menemukan kebenaran di tempat yang tidak terduga. John Calvin, reformator Protestan abad ke-16, yakin akan hal itu. Dalam komentarnya tentang Titus 1:12, di mana Paulus merujuk pada seorang penyair Kreta, Calvin berpendapat bahwa kita tidak perlu takut untuk belajar dari penulis non-Kristen: -Semua kebenaran berasal dari Allah; dan akibatnya, jika orang jahat telah mengatakan sesuatu itu adalah benar dan adil, kita hendaknya tidak menolaknya; karena itu datang dari Allah."
Saya ingin menyampaikan dua kebenaran yang saya temukan di "The Plague".
Tentang Tidak Mengabaikan Realitas
Beriman selama pandemi berarti tidak mengabaikan realitas penderitaan kita. Dapat sangat menggoda, ketika laporan harian tentang kasus baru, pembatasan tambahan, dan kematian yang dapat dihindari mungkin tampak berlebihan, untuk lalu mengabaikan semuanya. Akan tetapi, meremehkan atau menyangkal realitas situasi bukanlah jawabannya.
Camus tidak melakukan ini. Memang, dia tahu tentang penderitaan dengan sangat baik. Dia didiagnosis dengan tuberkulosis pada usia muda, dan penyakit itu tetap ada selama sisa hidupnya. Dalam novel tersebut, dia mengidentifikasi ketakutan dan kecemasan yang sangat manusiawi yang disebabkan oleh wabah di penduduk kota Oran. Kemunculan wabah itu pertama kali diketahui karena tikus-tikus yang mati di jalanan, tetapi dengan cepat berpindah ke manusia. Dr. Rieux mendiagnosis kasus pertama ketika Monsieur Michel, penjaga pintu, mulai menunjukkan tanda-tanda. Istri Michel bertanya, -Apakah tidak ada harapan yang tersisa, Dokter?- Sayangnya, tidak untuk suaminya.
Saat wabah, dan ketakutan yang menyertainya menyebar di kota, warga mendiskusikan hal-hal yang terdengar terlalu akrab bagi kita, saya yakin: mengambil tindakan pencegahan seperti memakai masker dan menjaga jarak satu sama lain, tantangan dari pemisahan jarak yang diperpanjang, pasien tanpa gejala, dan meratakan kurva. Beberapa orang bahkan percaya bahwa wabah akan hilang dalam suhu yang lebih hangat. Rieux berjuang untuk meyakinkan pihak berwenang tentang bahaya penyakit, karena mereka tidak ingin menyebutnya apa adanya: -Tidak penting apakah Anda menyebutnya wabah atau sejenis demam langka. Yang penting adalah mencegahnya membunuh setengah populasi kota ini." Akhirnya, karantina dideklarasikan: Telegram bertuliskan: Umumkan status wabah titik tutup kota.-
Efek wabah ini lebih dari sekadar isolasi fisik, tentu saja. Ini memiliki efek psikologis dan spiritual juga. Pemisahan yang dialami kota — antara orang-orang di dalam dan di luar kota serta di antara orang-orang yang berada di dalam temboknya — sangat menyedihkan. Lebih dari itu, seperti yang dikatakan oleh narator, wabah itu "telah menyingkirkan cinta dari segenap hati kami".
Kita semua menderita — beberapa dari kita mengalami sedikit ketidaknyamanan, yang lain mengalami kehilangan yang tak terbayangkan. Namun, pengalaman komunal kita tentang pandemi COVID-19 telah kembali menyingkap tirai untuk mengungkap realitas penderitaan kita yang jika tidak terjadi pandemi mungkin dapat kita abaikan. Dalam hal ini, peran pandemi mirip dengan perang, yang ditulis oleh C. S. Lewis dalam "Learning in War-Time." Dalam esai, yang awalnya merupakan khotbah yang dikhotbahkannya pada tahun 1939, Lewis melihat kembali pengalamannya tentang Perang Dunia I: -Perang tidak menciptakan situasi yang benar-benar baru: perang hanya memperburuk situasi permanen manusia sehingga kita tidak dapat lagi mengabaikannya.-
Warga Oran benar-benar ingin tidak hanya untuk bertahan hidup dari wabah, tetapi juga untuk mengetahui bahwa mereka tidak sendirian, bahwa ada makna dalam hidup mereka. Singkatnya, mereka ingin tahu bahwa ada harapan.
Tentang Tidak Melupakan Harapan Kita
Beriman saat pandemi berarti mengingat sumber harapan kita. Pertanyaan Madame Michel kepada Dr. Rieux, -Apakah sudah tidak ada harapan lagi, Dokter?- mungkin saja merupakan pertanyaan kita sendiri. Fakta bahwa murid-murid saya dan saya mengenakan masker di ruangan kelas dengan meja yang berjauhan atau bertemu dalam sesi Zoom daring saat kami mendiskusikan novel, hanyalah salah satu pengingat kecil dari krisis kami saat ini. Tanggapan Camus terhadap dilema eksistensial semacam itu adalah menjalani kehidupan yang tidak berarti, bahkan jika dia tahu bahwa, seperti Sisyphus ("pahlawan absurd" dalam The Myth of Sisyphus), dia harus berusaha sangat keras lagi dan lagi dan lagi. Akan tetapi, bagi iman Kristen, kebenaran adalah jauh lebih buruk dan sekaligus jauh lebih baik.
Ini jauh lebih buruk karena kita menyadari kedalaman kebutuhan kita. Novel Camus menawarkan sekilas tentang hal ini dalam percakapan antara Dr. Rieux dan Jean Tarrou, yang sayangnya tiba di Oran tidak lama sebelum wabah merebak. Prinsip etika Tarrou sendiri telah membuatnya mengatur tim sukarelawan untuk memerangi wabah daripada memaksa narapidana untuk melakukan pekerjaan itu.
Akan tetapi, dia menyadari kekurangannya sendiri: "Saya sudah terkena wabah, jauh sebelum saya datang ke kota ini dan mengalaminya di sini." Dalam kata-kata yang menggemakan pengakuan pemazmur dalam Mazmur 51 atau kata-kata Paulus dalam Roma tentang keberdosaan universal kita dan kebutuhan kita yang mutlak akan anugerah Allah, Tarrou mengakui, -Kita semua memiliki wabah. ... Masing-masing dari kita memiliki wabah di dalam dirinya; tidak seorang pun, tidak ada seorang pun di bumi yang bebas darinya. "
Pada saat yang sama, persepsi kita tentang realitas jauh lebih baik karena itu dibentuk oleh pengharapan kita di dalam Kristus. Saya menjadi bersemangat dengan berita terbaru tentang pengembangan vaksin COVID-19. Akan tetapi, bahkan vaksin yang efektif tidak akan menyembuhkan semua penyakit kita. Kedalaman dari kebutuhan kita memerlukan sesuatu yang lebih dari sekadar vaksin. Yang diperlukan adalah sesuatu yang tidak bisa kita lakukan.
Dalam pengertian tersebut, mungkin dapat dikatakan bahwa iman Kristen memiliki kesamaan dengan filosofi Camus. Ketika dihadapkan pada penderitaan kita dan kehidupan yang tampaknya absurd, apa yang dapat Anda lakukan? Ya, kita bisa — dan kita harus — mencintai sesama kita dengan mengenakan masker dan menjaga jarak sejauh enam kaki (sekitar 2 meter - Red.). Namun, ternyata kita tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengubah keadaan kita yang lebih besar. Yang kita butuhkan adalah intervensi.
Dan, di sinilah kita berangkat dari Camus. Sebab, jika kita harus mengingat realitas penderitaan kita, maka kita harus mengingat lebih banyak lagi apa yang telah Allah lakukan untuk kita dalam kehidupan, kematian, dan kebangkitan Yesus Kristus. Pada tahap awal wabah, Fr. Paneloux, seorang pendeta di Oran, mengkhotbahkan sebuah khotbah di mana dia menafsirkan wabah sebagai ekspresi hukuman Allah atas iman penduduk kota yang lemah: -Malapetaka telah menimpa Anda, Saudara-saudaraku, dan, Saudara-saudaraku, Anda pantas mendapatkannya.-
Belakangan, setelah melihat kematian yang menyiksa seorang anak akibat wabah, dia mengkhotbahkan khotbah lain di mana dia tampak melunak, berbicara "dengan nada yang lebih lembut, lebih bijaksana." Namun, bahkan ketika direndahkan dengan cara ini, Camus menulis, dia tidak akan melupakan imannya: "Tidak, dia, Pastor Paneloux, akan menjaga iman dengan simbol agung dari semua penderitaan, tubuh yang tersiksa di kayu Salib."
Lalu, apa pengharapan kita selama periode pandemi berkepanjangan ini?
Masa Adven adalah salah satu momen pengharapan, persiapan, dan penantian. Singkatnya, ini adalah masa pengharapan. Tentu saja, adalah meremehkan untuk mengatakan bahwa awal tahun Kristen ini tidak biasa. Akan tetapi, realitas Adven khusus ini — berkumpul untuk ibadah daring di ruang tamu, membuat karangan bunga buatan sendiri, berdoa berulang kali untuk mereka yang menderita karena wabah ini — hanya mengingatkan saya lebih lagi bahwa Allah tidak mengabaikan kenyataan dari situasi manusia. Pengharapan kita, selama masa-masa ini dan selalu, ditemukan dalam fakta bahwa di dalam Kristus, Allah memasuki kota yang dilanda wabah: -Sekarang, kelahiran Kristus Yesus adalah seperti berikut.- (Mat. 1:18). (t/N. Risanti)
Diterjemahkan dari: | ||
Nama situs | : | Christianity Today |
URL | : | https://www.christianitytoday.com/ct/2020/december-web-only/we-all-have-plague-camus-pandemic.html |
Judul asli artikel | : | ‘We All Have Plague’ |
Penulis artikel | : | David McNutt |