Catatan Editor:

Penulis artikel ini lebih jauh mengeksplorasi persimpangan antara Kekristenan dan makanan dalam bukunya, Broken Bread: How to Stop Using Food and Fear to Fill Spiritual Hunger. (Roti yang Dipecahkan: Cara Berhenti Menggunakan Makanan dan Rasa Takut untuk Mengisi Kelaparan Rohani - Red.)

Ini waktu yang tidak biasa mengenai makanan di Amerika Serikat. Sejauh rantai pasokan berlangsung, kami memiliki banyak, kami telah berulang kali diyakinkan. Meski begitu, keluarga yang menggunakan WIC dan kupon makanan selama berminggu - minggu mendapati rak kosong karena kepanikan membeli. Toko kelontong mengalami peningkatan penjualan, sementara restoran kesulitan untuk bertahan hidup. Orang-orang secara daring bercanda tentang "Karantina-15." Dan, kami yang telah dikarantina mengalami sesuatu yang baru: berbulan-bulan memakan makanan kami di rumah, bersama keluarga, secara pribadi. Kebiasaan manusiawi kami yang paling mendasar telah berubah.

Saya merasa diberkati selama waktu ini, menemukan bahwa dalam banyak hal, hidup saya belum banyak berubah. Saya di rumah bersama dengan anak-anak kecil sebelumnya. Saya masih di rumah bersama dengan anak-anak kecil. Suami saya belum kehilangan pekerjaannya. Saya sudah mengalami banyak hal, tetapi bukan kejutan total bagi kehidupan sehari-hari. Pertemuan gereja adalah kerugian terbesar -- tetapi itu sudah mulai kembali diselenggarakan.

Namun, ada satu bidang kehidupan yang terus-menerus muncul di benak saya selama karantina. Saya memperhatikan telah terjadi beberapa perubahan dalam pendekatan saya terhadap makanan. Saya juga memperhatikan teman, anggota keluarga, dan tetangga -- yang menceritakan pengalaman pribadi mereka melalui layar dan obrolan bertetangga di jalan masuk -- yang memahami makanan dengan cara yang baru.

Inilah yang saya lihat.

1. Ada Kehidupan Setelah Kerakusan

Ini adalah yang paling jelas, jika Anda pernah melihat meme di mana saja selama dua bulan terakhir. Semua orang sadar bahwa berbagai tantangan pekerjaan, pengasuhan anak, pengelolaan rasa takut, dan isolasi sosial/rohani sering diterjemahkan sebagai perjalanan ekstra ke lemari es.

Dalam privasi kehidupan rumah yang konstan, saya telah berhadapan muka dengan kurangnya kesederhanaan saya sendiri. Banyak dari kita telah datang ke persimpangan di karantina kita -- di mana keinginan untuk kenyamanan telah bersinggungan dengan kesadaran kita bahwa kita harus dengan cara apa pun membuat tubuh kita terus melanjutkan aktivitas, ketika krisis berkembang menjadi cara hidup jangka panjang. Kebajikan masih berguna untuk kita -- sebelum, selama, dan setelah karantina. Dan, kebajikan di meja berarti kita bersikap terhadap makanan kita dengan rasa terima kasih, kendali diri, dan mampu untuk tetap tenang dan dengan cepat melakukan hal yang masuk akal.

Kita seperti anak-anak dalam menghadapi COVID-19: penuh pertanyaan, tidak yakin siapa yang harus dipercaya, tidak sabar dengan pengalaman waktu kita. Betapa beruntungnya itu, bagi orang Kristen, seorang anak persis seperti apa kita sebenarnya -- entah kita berurusan dengan keadaan melimpah atau masalah kelaparan. COVID-19 hanya memperjelas siapa kita. Kita merasa tidak memiliki kendali -- itu karena kita tidak punya kendali. Kita merasa pengalaman kita baru dan aneh -- dan itu benar. Kita merasa kita membutuhkan seseorang untuk merawat kita -- dan kita memang membutuhkannya.

Kita memiliki kesempatan untuk menerima beberapa perasaan tak berdaya yang dibangunkan ini. Karena pada kenyataannya, kita adalah anak-anak. Anak-anak dengan ayah yang hebat. Dan, Dia telah berjanji untuk mengawasi kita dalam hal-hal kecil maupun besar (Mat. 6:25-26). Mat. 6:25-26). Anak-anak-Nya dapat duduk menghadap piring makanan, menikmatinya dengan perhatian penuh, lalu bangun untuk melakukan sesuatu yang lain. Inilah artinya menjadi seorang anak. Dan, anak-anak yang mengenal ayah mereka yang baik dan kuat tidak perlu mengubur kepala mereka di dapur untuk melupakan masalah mereka.

2. Keramahan Telah Bergeser

Orang-orang di gereja saya biasa berkumpul untuk makan malam seadanya setiap hari Minggu selama sekitar 35 tahun. Hingga Maret 2020, tradisi ini terasa tidak bisa digoyahkan. Sebagai penduduk desa, kami biasanya mengundang orang ke rumah kami untuk makan malam, alih-alih menyarankan makan di luar. Akan tetapi, bagi keluarga dan teman-teman saya di Nashville terdekat, memutus akses ke restoran terasa seperti memotong jalur kehidupan.

Kami semua harus menyesuaikan. Bagi komunitas kecil saya, keramahtamahan yang selama ini kami kenal, tidak ada lagi - atau dimodifikasi dengan serius - dari kehidupan. Alih-alih mengundang sekelompok orang untuk makan, kami berbagi doa lewat Zoom. Alih-alih menyiapkan potlucks (tradisi saling membawa makanan untuk dinikmati bersama dengan yang lain - Red.) di dapur gereja, kami meletakkan bahan makanan di beranda. Itu adalah gangguan. Namun, bukan penghentian.

Sekarang, ketika restoran mulai dibuka kembali secara terbatas, sepertinya orang hanya perlahan-lahan mulai kembali makan. Beberapa orang yang tidak terbiasa dengan keramahtamahan biasa di rumah, sekarang memiliki waktu, dorongan, dan ruang mental untuk memikirkannya. Tentunya, ketika kita perlahan-lahan memasuki kehidupan publik lagi, pilihan pertama kita untuk bersekutu mungkin kuno: "Kalian mau datang untuk makan malam?" Dengan cara ini, orang dapat menemukan kembali pengalaman persekutuan di rumah.

3. Beberapa Konsep Makanan Kita Telah Dihapus

Seolah-olah seluruh dunia kebugaran internet menjadi gelap selama beberapa minggu pertama karantina. Tidak ada penggemar latihan yang menyuruh untuk membentuk otot perut baru dan lebih baik. Pakar gizi tidak mengatakan apa-apa tentang mengapa kita tidak boleh mengkonsumsi gluten. Sepertinya kesepakatan diam telah dicapai, bahwa kerapuhan publik perlu dihormati. Sama seperti lorong permen di toko-toko bahan makanan yang masih tersedia banyak, bahkan ketika daging dan kentang menghilang, ada banyak serbuk goji berry yang tersedia, bahkan ketika barang-barang kaleng terbang dari rak-rak.

Keadaan darurat memiliki cara "mengurangi lemak," demikian bisa dikatakan, ketika berbicara tentang diet yang berlebihan atau sembrono. Tampaknya dalam menghadapi ancaman kematian yang nyata, kita yang tergoda untuk mengidolakan kesehatan tubuh mengalami ketakutan yang saling bertentangan. Kita secara naluriah meraih yang sederhana ketika menghadapi krisis kesehatan.

Cara-cara kecil kita saat tergoda untuk menggunakan makanan sebagai indikator sosial tampaknya tidak terlalu berarti ketika kita melakukan semua kegiatan makan di dalam privasi rumah kita. Mencari tahu tentang bahan baru yang keren itu sebelum orang lain melakukannya, meneliti pola makan yang tidak jelas, memposting daftar makanan yang kita maksudkan tidak lagi meracuni tubuh kita -- kesenangan-kesenangan ini tampak redup selama virus corona.

Ini adalah sesuatu yang Alkitab katakan kepada kita selama ini: masa perang bukan waktunya saling mengkritik tentang makanan (Rm. 14:3,17).

4. Meja Keluarga Sudah Kembali

Untuk kembali ke cara hidup yang sebagian dari kita tidak pernah alami, banyak keluarga sekarang makan bersama. Baik atau buruk, kita bergantung pada orang-orang yang tinggal bersama kita untuk makanan di atas meja dan persekutuan yang kita alami saat memakannya.

Beberapa anak tidak pernah merasakan roti buatan sendiri sebelumnya. Sekarang, saya melihat lusinan wanita daring berbicara tentang kebahagiaan membuat kue, sementara pemasok tepung berebut untuk memenuhi permintaan. Saya belum pernah melihat begitu banyak kebun sayur di komunitas saya. Tukang kebun yang berpengalaman dan pemula seperti saya tiba-tiba punya keinginan untuk menanam tomat, jagung, kentang, dan kacang hijau dari sebidang tanah di sekitarnya.

Keluarga Kristen mungkin mulai mengenali peluang Injil yang baru. Jika kita memiliki meja keluarga, itu berarti kita dapat mengundang orang ke sana. Meja keluarga tidak akan menyampaikan Injil kepada siapa pun, tetapi tentu saja ini merupakan kesempatan untuk membagikannya.

Selama bertahun-tahun, meja sering kali penuh sesak dengan jadwal sibuk kita. Orang bertanya-tanya apakah -- bahkan ketika kita membersihkan rumah kita -- kita akan mengenali pentingnya posisi ini dan menjadikannya lebih tinggi dalam daftar prioritas kita di masa depan.

Makanan dan rasa terima kasih

Sebelum karantina, selama karantina, dan saat kita mulai keluar dari karantina, satu bagian dari hidup kita tetap tidak berubah.

Duduk diam dan bersyukur kepada Allah atas penyediaan sepiring penuh dari sesuatu mengingatkan kita akan kemanusiaan kita. Ini mengingatkan bahwa kita pada akhirnya bukan pengendali nasib kita. Dan, itu mengingatkan kita bahwa, seperti burung pipit, kita memandang dengan penuh pengharapan kepada siapa Dia. (t/Jing-Jing)

Diterjemahkan dari:
Nama situs : The Gospel Coalition
URL : https://www.thegospelcoalition.org/article/food-quarantine/
Judul asli artikel : Food in a Time of Quarantine
Penulis artikel : Tilly Dillehay