Mempertanyakan Perintah Vaksinasi

Vaksinasi COVID hampir tidak mengurangi ketidaksepakatan kita atas kebijakan kesehatan masyarakat. Sebaliknya, mereka telah membuat ketidakharmonisan kita jadi lebih pahit. Kita sekarang terbagi menjadi tiga kelompok vaksinasi yang berbeda.

Kelompok pro-vaksin/pro-perintah telah disuntik dan bersikeras bahwa semua orang juga harus disuntik. Kelompok anti-vaksin/anti-perintah menolak untuk disuntik dan berencana untuk menolak semua perintah. Kelompok ini termasuk beberapa petugas kesehatan. Misalnya, Rumah Sakit Metodis Houston memecat lebih dari 150 perawat dan staf lain ketika mereka mengorbankan pekerjaan mereka daripada menerima suntikan.

Lalu, ada kelompok saya, orang-orang menengah yang pro-vaksin/anti-perintah. Kami melihat vaksin sebagai peluang terbaik untuk memitigasi virus, dan kami sangat mendorong mereka yang ragu untuk disuntik. Pada saat yang sama, kami memahami bahwa COVID hampir tidak berbahaya seperti cacar. Juga bukan polio. Tidak seperti wabah-wabah tersebut, ancaman mematikan sebagian besar terbatas pada orang tua, yang sebagian besar telah divaksinasi. Orang-orang dalam kelompok saya khawatir jika kelompok pro-perintah memaksa orang yang ragu-ragu untuk mendapatkan suntikan, sisa-sisa terakhir dari rasa hormat di negara ini akan hancur. Lewatlah sudah hari-hari di mana orang-orang yang konservatif diizinkan untuk tidak setuju dan tetap berelasi baik.

Sebuah perintah nasional mungkin tidak konstitusional, tetapi bahkan perintah negara bagian dan lokal mungkin tidak sah. Kita akan segera mengetahuinya, saat perintah lokal mulai dikeluarkan. Kota New York, misalnya, mewajibkan semua pegawai Departemen Pendidikan kota untuk divaksinasi. Distrik Sekolah San Antonio juga demikian.

Putusan Mahkamah Agung yang sering dikutip oleh para pembuat perintah adalah Jacobson v. Massachusetts, diputuskan pada tahun 1905, yang mengizinkan Cambridge, Massachusetts, untuk menghukum penduduk yang menolak vaksinasi cacar selama keadaan darurat wabah. Ini adalah perintah lokal. Namun, kekuatan lokalitas itu tidak mutlak. Pemerintah tidak bisa begitu saja mengesahkan undang-undang apa pun yang diinginkannya karena ada krisis. Seperti yang dijelaskan oleh keputusan Jacobson (penekanan saya), "kebebasan kadang-kadang, di bawah tekanan bahaya besar, tunduk pada pengekangan seperti itu, untuk ditegakkan oleh peraturan yang konservatif, seperti yang mungkin dituntut oleh keselamatan masyarakat umum." Keharusan vaksinasi COVID dapat dianggap tidak rasional di tempat-tempat di mana jumlah kasusnya rendah.

Selain pertanyaan secara hukum yang belum terselesaikan, ada masalah lain dengan perintah vaksin.

Pertama, perintah tidak memperhitungkan mereka yang memiliki kekebalan alami. Ini seperti mengambil pendekatan menggunakan senapan besar ketika yang dibutuhkan adalah pistol. Ada bukti signifikan bahwa orang yang sudah terkena COVID secara alami resisten terhadap infeksi ulang, dan perintah menyeluruh tidak cukup banyak untuk mengakomodasi mereka yang memiliki kekebalan alami yang didapat ini. Tidak masuk akal untuk memaksa orang dengan antibodi yang ada untuk disuntik secara paksa dengan zat, terutama karena ada sedikit potensi efek samping yang serius.

Perintah vaksin juga akan menabur ketidakpercayaan antara dokter dan pasien. Pertimbangkan bahwa seorang dokter Alabama telah memberi tahu pasiennya bahwa dia tidak akan lagi merawat mereka jika mereka tidak divaksinasi. Dokter lain berpendapat hal itu akan dilanjutkan dengan gugatan. Perintah dapat membuat lebih banyak dokter juga memaksa pasien mereka, meningkatkan potensi konflik semacam itu. Akan tetapi, menolak untuk mengobati yang tidak divaksinasi sebenarnya adalah pengabaian. Jika Anda tidak setuju, pertimbangkan analogi ini: Apakah masyarakat akan pernah menerima seorang dokter yang menolak merawat pasien gay yang aktif secara seksual yang menolak menggunakan obat anti-HIV sebagai profilaksis (penangkal/pencegah penyakit - Red.)? Tentu saja tidak, dokter juga tidak boleh menolak perawatan pasien. Hal yang sama berlaku di sini.

Yang terakhir, perintah vaksinasi akan memberdayakan korporatokrasi. Presiden Biden tampaknya memahami bahwa cabang eksekutif tidak memiliki kekuatan untuk memerintahkan semua orang di negara itu untuk divaksinasi. Karena itu, dia mendesak korporasi untuk melakukan tindakan itu untuknya. Menyuruh sektor swasta melayani tujuan pemerintah memungkinkan tindakan sewenang-wenang dan menghindari pengimbang demokratis. Itu bukan cara Amerika.

Sama seperti virus, otoritarianisme dapat menyebar. Dalam masyarakat bebas, campur tangan yang signifikan terhadap kebebasan sipil hanya dibenarkan karena kebutuhan yang mendesak -- dan kemudian harus dilakukan dengan cara yang paling tidak mengganggu. Perintah vaksinasi COVID tidak lulus tes itu -- terutama dengan tes COVID yang sudah tersedia. Memang, kompromi yang masuk akal terhadap perintah akan memberi orang pilihan: Membuktikan Anda disuntik dan/atau memiliki antibodi COVID dari infeksi sebelumnya, atau menerima tes rutin. Ini akan menjadi peraturan yang tidak terlalu mengganggu, tetapi tetap menawarkan manfaat kesehatan masyarakat yang signifikan.

Intinya: Jika masyarakat bebas ingin tetap layak disebut bebas, persuasi -- bukan paksaan -- harus menjadi semboyan. Karena jika COVID menjadi alasan bagi pemerintah dan golongan Bisnis Besar untuk melakukan kontrol ekstrem seperti itu, gangguan yang lebih besar terhadap kebebasan sipil pasti akan menyusul. Setelah kekuasaan diambil, tangan-tangan yang mengambil itu jarang melepaskannya. (t/Jing-Jing)

Diterjemahkan dari:
Nama situs : First Things
Alamat situs : https://www.firstthings.com/web-exclusives/2021/08/questioning-vaccine-mandates
Judul asli artikel : Questioning Vaccine Mandates
Penulis artikel : Wesley J. Smith