Catatan Editor:

Ini adalah bentuk esai yang diadaptasi yang akan muncul dalam Themelios 45.2 (Agustus 2020).

Pertama kali saya memakai masker wajah dan sarung tangan plastik ke toko kelontong lokal kami, saya dikejutkan oleh kenyataan bahwa segalanya tidak "normal." Pada Januari 2020, dunia pertama kali mengetahui tentang wabah "virus corona jenis baru" yang menginfeksi ribuan orang di Tiongkok. Akan tetapi, pada bulan Maret, epidemi yang jauh ini telah menjadi pandemi di seluruh dunia yang telah menginfeksi jutaan dan membunuh ribuan orang, menyebabkan pergolakan dramatis dalam ekonomi global, dan secara fundamental mengganggu bisnis yang terus berjalan bagi kebanyakan masyarakat. Bangunan gereja ditutup pada hari Minggu Paskah. Sekolah-sekolah di semua tingkatan mulai dari prasekolah hingga pascasarjana dipaksa untuk mengambil opsi pembelajaran daring dan jarak jauh dan mengadakan upacara wisuda "virtual" untuk para lulusan. Banyak universitas dan seminari juga menghilangkan posisi fakultas dan program gelar karena menurunnya pendaftaran, kekurangan anggaran yang signifikan, dan masa depan yang tidak pasti. Bahkan ketika peraturan "tinggal di rumah" dicabut dan bisnis dan gereja mulai dibuka kembali, sebuah artikel di The Atlantic menyajikan penilaian yang bijaksana: "Tidak akan kembali ke 'normal.'"

Khotbah berusia 80 tahun oleh C.S. Lewis memberikan perspektif yang tepat waktunya untuk masa-masa abnormal ini. T.R. Milford, vikaris St. Mary's di Oxford, berpaling kepada Lewis -- seorang veteran Perang Besar dan dosen Kristen yang terkenal di Magdalen College -- untuk mengatasi keprihatinan para sarjana Oxford pada awal Perang Dunia II. Jadi, pada 22 Oktober 1939, Lewis berbicara di hadapan kerumunan besar mahasiswa dan staf Oxford dengan khotbah "'Tidak Ada Allah Lain': Budaya dalam Masa Perang." Khotbah itu awalnya diterbitkan sebagai pamflet berjudul "Orang Kristen Ada Dalam Bahaya" dan kemudian muncul dalam kumpulan khotbah luar biasa Lewis sebagai "Pembelajaran pada Masa-Perang."

Lewis mengingatkan kita bahwa "hidup tidak pernah normal." Dia menjelaskan mengapa dan bagaimana kita harus mengejar pembelajaran dengan serius untuk kemuliaan Allah -- entah dalam masa perang atau masa damai -- dan menyoroti tiga tantangan serius yang mengalihkan atau menghambat kebijaksanaan semacam itu. Artikel ini berupaya mendapatkan bijaksana dari khotbah "masa perang" Lewis untuk memberi informasi dan mendorong para pendeta, mahasiswa teologi, dan pembaca lain yang bekerja keras dalam masa yang disebut rasul sebagai "keadaan sulit saat ini" (1 Kor. 7:26).

Perlu Belajar Serius

Mengapa ada orang waras yang melakukan studi serius dalam bidang teologi, humaniora, atau seni di tengah-tengah perang dunia atau pandemi global?

Upaya semacam itu tampaknya merupakan investasi sumber daya dan waktu yang tidak bijaksana mengingat dunia kerja yang tidak pasti. Beberapa pakar bahkan mungkin menyatakan secara sosial tidak bertanggung jawab untuk selalu membaca buku ketika kehidupan jutaan orang berada dalam keadaan yang sangat sulit. Kita mungkin tergoda untuk berpikir bahwa keterlibatan dalam pembelajaran yang sabar dan hati-hati pada saat-saat seperti itu adalah sama dengan "bermain-main ketika Roma terbakar" (47). Lewis membahas keberatan semacam ini terhadap studi universitas tradisional karena ketidakpastian dan urgensi Perang Dunia II dengan menyatakan bahwa kita harus berusaha untuk "melihat bencana saat ini dalam perspektif yang benar" (49). Perang -- atau pandemi -- tidak benar-benar menciptakan "situasi baru"; melainkan, memaksa kita untuk mengenali "situasi manusia yang permanen" bahwa orang selalu "hidup di tepi jurang" (hlm. 49). "Kehidupan normal" adalah mitos; jika orang menunggu kondisi optimal sebelum mencari tahu apa yang benar, baik, dan indah, mereka tidak akan pernah memulai. Lewis mengingatkan kita bahwa generasi masa lalu memiliki andil dalam krisis dan tantangan, tetapi manusia tetap memilih untuk mengejar pengetahuan dan kegiatan budaya. Tidak mungkin untuk menunda "seluruh aktivitas intelektual dan estetika" kita selama krisis (52). Kita akan terus membaca bahkan di masa perang -- pertanyaannya adalah apakah kita akan membaca buku-buku bagus yang menantang kita untuk berpikir secara mendalam dan jelas atau apakah kita akan menghabiskan waktu kita melawan gangguan yang dangkal dan biasa.

Lewis berpendapat bahwa kita tidak boleh secara tajam membedakan antara aktivitas manusia "alami" dan "rohani" kita karena "setiap tugas adalah tugas agamawi" (53 -- 55). Entah seseorang adalah seorang komposer atau pembersih, seorang yang belajar budaya Yunani atau Romawi kuno atau tukang kayu, pekerjaan alami mereka menjadi rohani ketika mereka mempersembahkannya dengan rendah hati "kepada Tuhan" (55 -- 56). Dengan demikian, pengejaran intelektual akan pengetahuan dan keindahan bahkan di masa perang dapat dan memang memuliakan Allah, meskipun Lewis memperingatkan agar tidak membuat keberhasilan ilmiah menjadi idola jika kita "tidak senang dalam menggunakan talenta kita tetapi dalam kenyataan bahwa itu adalah milik kita, atau bahkan dalam reputasi kita yang dibangun dari itu" (57).

Pekerjaan apa yang "sangat diperlukan" dalam masyarakat modern? Selama pandemi COVID-19, sebagian besar pemerintah sipil, negara bagian, dan lokal sementara menutup banyak sektor masyarakat sambil hanya mengizinkan pekerja "yang sangat diperlukan" untuk tetap bekerja. Karya para filsuf, sejarawan, dan teolog (misalnya) mungkin kelihatannya tidak penting, sementara pekerjaan dokter adalah darurat dan peneliti vaksin dianggap penting dalam masyarakat yang dihantam oleh penyakit mematikan. Namun demikian, penilaian semacam itu hanya berpandangan jangka pendek jika kita memikirkan perkembangan jangka panjang masyarakat manusia.

Filsafat menyangkut pengejaran kebijaksanaan. Mahasiswa filsafat belajar membuat argumen yang kuat, merenungkan secara mendalam apa yang benar, baik, dan indah, dan menyelidiki bagaimana kita harus hidup di dunia yang kompleks. Suatu masyarakat dengan sedikit perhatian pada kebenaran, logika, estetika, atau moral akan menjadi "dunia baru yang bodoh"! Lewis menyerukan agar para sarjana Kristen melayani gereja dengan bekerja lebih keras dan berpikir lebih dalam untuk memajukan "filsafat yang baik" yang memberikan jawaban yang benar dan pembelaan yang masuk akal terhadap mode dan fenomena filosofis zaman (58).

Demikian pula, kita perlu mempelajari masa lalu untuk mengevaluasi dengan benar tantangan dan kekhawatiran saat ini. Sebagaimana Pengkhotbah mengingatkan kita, "Sesuatu yang pernah ada, itulah yang akan ada lagi. Sesuatu yang telah diperbuat, itulah yang akan diperbuat lagi. Tidak ada sesuatu yang baru di bawah matahari." (Pengkhotbah 1 9). Kata-kata seperti "belum pernah terjadi sebelumnya" sering digunakan untuk pandemi virus corona, tetapi generasi kita bukan generasi pertama yang menghadapi ancaman penyakit mematikan. Sejarah yang baik memungkinkan kita untuk "merelatifkan diri kita sendiri dan masa kita," yang mengarah ke pemahaman yang lebih besar tentang dunia kita dan tempat kita di dalamnya. Dengan menganalisis masa lalu dan orang-orang, Lewis menunjukkan bahwa mahasiswa sejarah yang serius membangun antibodi intelektual yang menawarkan kekebalan "dari katarak besar omong kosong yang mengalir dari pers dan mikrofon pada zamannya" (59).

Lewis tidak secara langsung membahas sifat dan kebutuhan untuk studi teologis yang serius dalam "Pembelajaran pada Masa-Perang," tetapi di tempat lain ia menyatakan bahwa "siapa pun yang ingin benar-benar berpikir tentang Allah akan ingin memiliki gagasan yang paling jelas dan paling akurat tentang Dia yang bisa diakses." Dia menegaskan bahwa teologi itu praktis, terutama pada masa perang, karena setiap orang memiliki ide mereka sendiri tentang Allah (banyak dari mereka salah) dan rentan terhadap berbagai hal baru teologis "yang dicoba oleh para teolog sejati berabad-abad yang lalu dan ditolak." Sementara, pandemi virus corona mengganggu ekonomi global, merenggut ratusan ribu nyawa, dan secara radikal mengubah kehidupan "normal" bagi kebanyakan orang, pandemi virus corona juga telah memaksa banyak orang untuk bergulat dengan kematian mereka sendiri dan pertanyaan-pertanyaan yang paling penting. Lewis menyatakan, "Perang menjadikan kematian nyata bagi kita. ... Kita melihat secara langsung jenis alam semesta di mana kita selama ini hidup, dan harus berdamai dengannya" (62 -- 63). Menerapkan kata-kata Lewis untuk krisis kita saat ini, kita menyadari bahwa ada kebutuhan kritis dan kesempatan mendesak untuk pembelajaran alkitabiah dan teologis yang serius yang menguraikan "fondasi dasar dari iman historis" dalam pelayanan yang rendah hati kepada Kristus dan gereja-Nya. Perang dan pandemi mengingatkan orang bahwa ada sesuatu yang sangat salah di dunia kita. Teologi Kristen memberi tahu intuisi itu dengan mengungkapkan bahwa konflik bersenjata dan virus jahat adalah gejala dari masalah paling dasar di alam semesta: manusia telah memberontak melawan Allah Pencipta, yang akan menghakimi setiap orang sesuai dengan perbuatan mereka.

Jadi, solusi sejati untuk penyakit kita ditemukan, bukan di Gedung Putih atau Organisasi Kesehatan Dunia, tetapi di Kalvari, di mana Anak Allah menderita dan mati untuk orang berdosa dan kemudian melucuti kematian dengan menaklukkan kuburan.

Pencarian arsip perpustakaan mengungkapkan bahwa banyak mahasiswa memang melanjutkan "menempuh studi pada masa perang" di Oxford dan universitas lain. Sarjana terkemuka yang mempelajari gereja mula-mula, W.H.C. Frend, menyelesaikan tesis DPhilnya (Doktor pada bidang Filsafat - Red.) tentang Kekristenan Afrika Utara di Oxford pada tahun 1940. George B. Caird menyelesaikan doktoralnya di Oxford pada tahun 1944, menulis konsep kemuliaan Perjanjian Baru, dan kemudian bekerja sebagai Dekan universitas Irlandia untuk Eksegese Kitab Suci. Pada contoh-contoh ini kita dapat menambahkan tesis Oxford masa perang mengenai penggunaan Kitab Suci Francis Bacon (1940), sintaksis Ibrani pasca-Alkitab (1943), Bucer dan Reformasi Inggris (1943), ibadah kaum Puritan Inggris (1944), konsepsi Barth tentang kasih karunia (1945), karya Agustinus Against the Academics (1945), dan puluhan lainnya. Perspektif historis ini harusnya memberikan dorongan kepada seminaris kontemporer dan mahasiswa pascasarjana yang berkomitmen untuk belajar di masa pandemi terlepas dari tekanan keuangan, penutupan perpustakaan, dan prospek pekerjaan yang tidak pasti.

Musuh Pembelajaran Serius

Lewis mengidentifikasi tiga "musuh" yang bangkit melawan para cendekiawan di masa-masa seperti perang: kehebohan/sensasi, frustrasi, dan ketakutan.

1. Kehebohan/Sensasi

Musuh pertama semacam itu adalah kehebohan/sensasi, di mana Lewis mengartikan "kecenderungan untuk berpikir dan merasakan tentang perang ketika kita bermaksud untuk memikirkan pekerjaan kita" (59-60). Artinya, para sarjana dapat terganggu oleh krisis saat ini dan gagal untuk menginvestasikan energi penuh mereka dalam pengejaran keilmuan mereka. Hari ini, bahaya "kehebohan/sensasi" mengambil bentuk keasyikan dengan media sosial, terus-menerus menggulirkan Twitter dan mencari Google untuk mengikuti berita dan analisis terbaru tentang jumlah kasus virus korona yang dikonfirmasi, situasi ekonomi yang berbahaya, dan keadaan kekacauan politik di Washington, London, atau Johannesburg. Ini bukan musuh yang jelas terhadap pembelajaran; adalah wajar untuk tetap terhubung dengan peristiwa terkini. "Kehebohan/sensasi" atau gangguan seperti itu, bagaimanapun, menghalangi kita untuk mengejar apa yang disebut Cal Newport "pekerjaan yang mendalam/serius" - kegiatan di mana kita memfokuskan konsentrasi penuh kita dan mendorong kapasitas kognitif kita sampai ke batas mereka. Pekerjaan bebas gangguan mengasah kemampuan kita dan memanfaatkan energi kita untuk menciptakan sesuatu yang bernilai sejati dan langgeng. Jauh lebih mudah untuk menulis tweet dan memindai berita utama daripada menganalisis sintaksis Ibrani, mengembangkan bukti filosofis, atau membaca prosa Puritan yang padat.

Lewis mengingatkan kita bahwa "selalu ada banyak saingan dalam pekerjaan kita" (60). COVID-19 tidak menciptakan musuh "kehebohan/sensasi" -itu hanya memperburuk kecenderungan kita. Jauh sebelum wabah virus corona baru-baru ini, orang-orang menghabiskan terlalu banyak waktu dalam menggunakan media sosial dan menonton breaking news CNN. Tony Reinke menulis,

Kegemaran manusia untuk pengalih perhatian adalah tinggi pada setiap zaman, karena pengalih perhatian membuat kita mudah lepas dari kesunyian dan keheningan di mana kita menjadi terbiasa dengan keterbatasan kita, kefanaan kita yang tak terhindarkan, dan keterpisahan Allah dari semua keinginan, harapan, dan kesenangan kita.

Kita mendambakan apa yang tampak langsung, menarik, dan relevan, dan kita sering kali terlalu rela untuk melepaskan diri dari pekerjaan mendalam kita yang terasa membosankan atau biasa-biasa saja untuk memastikan bahwa kita tidak ketinggalan pembaruan status teman atau berita utama terbaru tentang masalah hari ini. Lewis memperingatkan, "Jika kita membiarkan diri kita sendiri, kita akan selalu menunggu gangguan atau lainnya berakhir sebelum kita benar-benar bisa mulai bekerja" (60). Tidak pernah ada waktu yang optimal untuk belajar bahasa kuno atau menulis monograf atau tesis. Kita harus mengejar pengetahuan dan menempuh studi bahkan ketika kondisi tampaknya tidak cocok, karena "kondisi yang menguntungkan tidak pernah datang" (60). Kita dapat meniru kesadaran dan ketetapan hati orang-orang Isakhar, "yang memahami masa sehingga mengetahui apa yang harus Israel lakukan" (1 Taw. 12:32). Untuk perspektif yang tepat tentang keadaan kita saat ini, "Kita membutuhkan pengetahuan mendalam tentang masa lalu" (58). Dengan demikian, pendeta yang tidak yakin bagaimana memimpin gerejanya di tengah pandemi dapat belajar dari bagaimana orang Kristen menanggapi epidemi dan pandemi dalam generasi sebelumnya.

2. Frustrasi

Frustrasi atau kecemasan adalah musuh kedua yang harus dihadapi para cendekiawan - "perasaan bahwa kita tidak akan punya waktu untuk menyelesaikannya" (60). Sarjana Oxford dan yang lainnya yang berkumpul untuk mendengarkan khotbah Lewis pada tahun 1939 memiliki keluarga dan teman di garis depan perang. Mereka khawatir tentang serangan udara Jerman dan mengalami sulitnya penindasan pada masa perang dan kekurangan kertas. Lewis berpendapat, "Jika orang tua kita mengirim kita ke Oxford, jika negara kita mengizinkan kita untuk tetap di sana, ini adalah bukti yang valid bahwa setidaknya, kehidupan yang dapat kita arahkan terbaik untuk kemuliaan Allah saat ini adalah kehidupan yang berpengetahuan luas" (56).

Para sarjana tidak akan pernah menyelesaikan setiap buku dan artikel yang ingin mereka tulis; pendeta kemungkinan akan pensiun atau meninggal sebelum menyelesaikan seri khotbah yang telah mereka rencanakan. Virgil -- penyair Romawi terhebat -- meninggal pada 19 SM sebelum menyelesaikan karya epiknya, The Aeneid. Demikian juga, Jane Austen, Charles Dickens, Franz Kafka, Mark Twain, dan banyak penulis lain meninggalkan novel yang belum selesai. Seseorang juga berpikir tentang "teolog Amerika" Jonathan Edwards, yang meninggal sebelum menyelesaikan karya besarnya, A History of the Work of Redemption. Dan, sarjana Alkitab yang hebat J.B. Lightfoot meninggalkan tafsiran Alkitab yang tidak dipublikasikan dan catatan hermeneutik yang terperinci tentang Injil Yohanes, Kisah Para Rasul, 2 Korintus, dan 1 Petrus yang ditemukan dan diterbitkan lebih dari seabad setelah kematiannya.

Lewis mengingatkan kita, "Pekerjaan yang menggembirakan dilakukan oleh orang yang menjalankan sedikit rencana jangka panjangmya dan bekerja dari waktu ke waktu 'seperti untuk Tuhan.' . . . Masa kini adalah satu-satunya saat di mana satu tugas dapat diselesaikan atau satu anugerah diterima" (61). Karena itu, kita seharusnya tidak menanggapi musuh "frustrasi" dengan keputusasaan seperti hamba bodoh yang menyembunyikan uang tuannya di tanah daripada menginvestasikannya (Mat. 25:18, 24-27). Pada saat yang sama, kita harus waspada terhadap kesombongan yang Yakobus peringatkan kepada kita dengan mengakui bahwa, setiap kali kita mendaftar untuk program gelar, merencanakan serangkaian khotbah, atau menandatangani kontrak buku, kita harus dengan rendah hati mengakui, "Jika Tuhan menghendaki, kami akan hidup dan melakukan ini atau itu" (Yakobus 4:15).

3. Ketakutan

Ketakutan adalah musuh ketiga yang menentang mereka yang akan belajar di masa perang. "Perang mengancam kita dengan kematian dan kesakitan," tetapi Lewis mendesak kita untuk mengingat, "100 persen dari kita mati, dan persentasenya tidak dapat ditambah" (61). Perang -- atau virus korona -- dapat memengaruhi penyebab atau waktu kematian, tetapi tidak mengubah kepastiannya. Faktanya, krisis berbahaya seperti perang dunia atau pandemi global memaksa kita untuk "mengingat" kematian dan "selalu sadar akan kematian kita" (62). Organisasi Kesehatan Dunia mulai menerbitkan laporan situasi harian tentang virus corona yang pada tanggal 21 Januari, 2020, ketika hanya ada 282 kasus yang dikonfirmasi; empat bulan kemudian, jumlah global melebihi enam juta kasus dan 375.000 kematian dilaporkan. Angka-angka yang membengkak ini mengejutkan dan menyadarkan, tetapi mereka juga mengingatkan kita tentang apa yang benar selama ini: kita fana dan semua akan mati. Kesadaran bahwa kita "tidak ada di sini untuk hidup selamanya" pada kenyataannya menggerakkan kita untuk hidup lebih penuh hari ini untuk orang lain dan untuk Allah. Sebagai mahluk yang hidup di masa yang tidak pasti dan tidak normal -- karena waktu tidak pernah pasti atau normal -- Lewis menantang kita untuk dengan rendah hati mempersembahkan kepada Allah upaya kita untuk belajar sebagai "salah satu pendekatan yang dipilih untuk realitas Ilahi dan keindahan Ilahi yang kita harapkan akan kita nikmati sesudahnya "(63).

Musa dengan efektif menghadapkan kita dengan kefanaan kita sendiri dan menawarkan kepada kita hikmat yang dibutuhkan dalam Mazmur 90. Kita harus memperhitungkan batas kemampuan kita- "masa umur kami adalah tujuh puluh tahun, atau oleh kekuatan, sampai delapan puluh tahun" - dan katakan kepada Pencipta kita, "Dari selama-lamanya sampai selama-lamanya, Engkau adalah Allah." (ayat 2, 10). Entah kita menghadapi konflik bersenjata, virus corona, atau kerja keras dan masalah lain dalam kehidupan ini, kita berdoa, "Karena itu, ajari kami menghitung hari-hari kami supaya kami datang kepada hikmat" (ayat 12). Hari-hari kita telah dihitung oleh yang Daniel sebut sebagai "Zaman Kuno". Dengan menghubungkan kefanaan, kita meminta Allah yang kekal untuk membahagiakan dan memuaskan kita untuk semua hari-hari kita dan kemudian "meneguhkan pekerjaan kami" (ayat 14-15, 17).

Doa penutup ini dengan tepat mengungkapkan ketergantungan dan tekad para cendekiawan Kristen yang berkomitmen untuk belajar di masa perang, serta semua pengikut Kristus yang percaya bahwa pekerjaan mereka "di dalam Tuhan" tidak sia-sia (1 Kor. 15:58).

(t/Jing-Jing)

Diterjemahkan dari:
Nama situs : The Gospel Coalition
URL : https://www.thegospelcoalition.org/article/scholarship-pandemic-lewis/
Judul asli artikel : Scholarship in a Pandemic? A Lesson from C. S. Lewis
Penulis artikel : Brian Tabb