Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC), orang Amerika yang meninggal di tahun 2020 hampir 19 persen lebih banyak daripada tahun 2019. Menurut usia populasinya, ini adalah peningkatan kematian terbesar dalam satu tahun sejak wabah flu Spanyol tahun 1918. CDC mengaitkan sekitar 375.000 kematian orang Amerika pada tahun 2020 dengan COVID-19. Namun, menjadikan keterkaitan itu sebagai sorotan dalam kisah ini akan mengubur petunjuk untuk masalah yang lebih serius.

Tidak seperti flu Spanyol, pandemi COVID membiarkan sebagian besar orang dewasa muda tetap aman. Baru-baru ini, hanya sekitar 3,5% dari korban pandemi yang berada di kelompok usia 25-34 tahun. Akan tetapi, kematian di kelompok usia ini masih terus meningkat. Faktanya, orang-orang dewasa usia kerja adalah satu-satunya kelompok yang angka kematiannya, di usia tertentu, belum membaik selama beberapa dekade terakhir.

Dalam tulisannya di Bloomberg, Justin Fox melaporkan bahwa meskipun populasi lainnya telah mengalami peningkatan kesehatan dan harapan hidup, orang dewasa yang lebih muda -- yang secara historis termasuk warga yang paling sehat -- meninggal pada tingkat yang sama dengan yang terjadi pada mereka di tahun 1953. Padahal, di tahun tersebut obat-obatan dan perawatan kesehatan hampir tidak secanggih hari ini.

Kembali pada bulan Maret, Akademi Ilmu Pengetahuan, Teknik, dan Kedokteran Nasional mengeluarkan laporan panjang yang berusaha menjelaskan data ini. Penyebab yang diidentifikasi untuk "angka kematian yang tinggi dan meningkat di antara orang dewasa usia kerja" adalah "penyebab eksternal", seperti obat-obatan, alkohol, dan bunuh diri. Demikian juga, CDC telah mengidentifikasi lonjakan overdosis obat sebagai masalah utama, terutama popularitas fentanil dan opioid sintetik serupa yang sangat kuat. Pada tahun 2015, ekonom Ann Case dan Angus Denton memberi nama kelompok pembunuh ini: "kematian karena putus asa."

Kematian karena putus asa telah meningkat selama bertahun-tahun dan terkonsentrasi secara tidak proporsional di antara orang Amerika kulit putih yang tinggal di pedesaan tanpa gelar sarjana. Dengan kata lain, ini telah menjadi "kondisi yang sudah ada sebelumnya" dari COVID atau lebih tepatnya, "komorbiditas." Menurut CDC, meskipun jumlahnya masih bergerak sedikit demi sedikit, tingkat "kematian karena putus asa" memburuk secara drastis pada tahun 2020, ketika lockdown dan jaga jarak sosial berada di puncaknya.

Sebuah pelajaran dari sini adalah karena manusia lebih dari sekadar tubuh, kesehatan masyarakat lebih dari sekadar mengendalikan penyakit menular. Pengharapan sama pentingnya bagi kesejahteraan kita, seperti halnya perawatan kesehatan. Jika kita berharap untuk mencegah orang dewasa muda meninggal terlalu cepat, pertama-tama kita harus membantu mereka menjawab pertanyaan: "Untuk apa hidup?"

Dunia modern kini penuh dengan pilihan dan gangguan yang tak terbatas, namun tanpa makna. Jawaban atas pertanyaan itu pun tidak jelas bagi banyak orang, terutama orang dewasa muda. Mereka kehilangan pengharapan, tetapi saya tidak mengacu pada perasaan. Meminjam dari Thomas Aquinas, budaya yang semakin sekuler telah menghilangkan keyakinan nyata akan adanya kemungkinan untuk "ambil bagian dalam kebaikan Allah."

Terlalu banyak kebijakan publik kita yang tidak hanya mengabaikan kepenuhan diri kita sebagai manusia, tetapi juga gagal memperhitungkan bahwa budaya kita begitu minim harapan. Misalnya, dampak lockdown, jaga jarak sosial, dan isolasi yang diperpanjang tidak dapat diukur hanya dari segi ekonomi. Demikian pula, setiap evaluasi terhadap obat yang disetujui dan tersedia secara luas harus, paling tidak, memperhitungkan peningkatan kematian akibat overdosis. Kita tidak bisa lagi menghindari pertanyaan kasar tentang nilai kemanusiaan dan keuntungan farmasi.

Yang terpenting, tingkat kematian akibat keputusasaan harus membuat kita memikirkan kembali makna pengharapan dan dari mana asalnya. Saya tidak dapat membayangkan ada orang yang benar-benar mengatakan bahwa benda lebih penting daripada manusia atau bahwa ponsel kita lebih berarti daripada anak-anak kita. Bahwa, lebih baik kita sendirian dan terpisah daripada bersama dengan orang lain dan saling mengambil tanggung jawab. Atau, membabi buta menikmati hiburan yang dirancang hanya untuk memprovokasi atau mengalihkan perhatian sebagai definisi sebenarnya dari "kehidupan yang baik". Akan tetapi, tidak adanya argumen dan pembiasaan akan jiwa yang gigih secara terus-menerus, banyak orang meyakini hal itu. Buktinya tidak akan ditemukan melalui sesuatu yang kita katakan, tetapi melalui cara hidup kita yang tanpa harapan.

Penyebab sebenarnya di sini adalah pandangan dunia yang dijelaskan oleh nabi Yesaya berabad-abad yang lalu, yang mendorong kita untuk membelanjakan uang untuk sesuatu yang bukan roti dan bekerja untuk hal-hal yang tidak dapat memuaskan. Hari ini, kita didesak untuk menghabiskan sumber daya kita dan mencari kepuasan di dalam benda, seks, status, dan diri sendiri. Orang Amerika yang tak terhitung jumlahnya beralih ke anestesi untuk mematikan kekecewaan mereka adalah bukti bahwa hal-hal ini tidak dapat memuaskan.

Siapa lagi yang bisa mengatasi pandemi keputusasaan di seluruh budaya ini selain gereja? Siapa lagi, kalau bukan kita, sesama pengemis yang telah mendapatkan Roti Kehidupan? Dalam masyarakat yang benar-benar hampir mati karena putus asa, "siap sedia memberi jawaban kepada siapa pun yang menuntutmu mengenai pengharapan yang kamu miliki," bukan sekadar saran. Ini adalah panggilan. Ini masalah hidup atau mati. (t/Jing-jing)

Diterjemahkan dari:
Nama situs : The Christian Post
Alamat situs : https://www.christianpost.com/voices/the-pandemic-of-despair.html
Judul asli artikel : The Pandemic of Despair
Penulis artikel : John Stonestreet