Ketika seluruh kampus di seluruh negeri beralih ke pembelajaran daring dalam waktu singkat, hal ini menimbulkan beberapa masalah -- mulai dari ketersediaan perangkat (laptop) dan akses internet hingga kesehatan mental dan kebutuhan finansial.

Para ahli pembelajaran digital memiliki beberapa saran yang mengejutkan mengenai hal ini: lakukan lebih sedikit.

"Mohon Lakukan Kinerja yang Buruk Ketika Mengubah Kelas Anda menjadi Daring" adalah judul dari salah satu postingan blog populer oleh Rebecca Barrett-Fox, seorang profesor pembantu dalam bidang Sosiologi di Arkansas State University. Inti pernyataannya: "Kelas Anda bukanlah prioritas utama bagi mereka dan Anda saat ini." Ia menyarankan untuk tidak mengharuskan mahasiswa menghadiri kelas daring pada suatu waktu tertentu dan mengizinkan membuka buku dan mengakses internet pada saat ujian.

Luke Waltzer, direktur dari Pusat Pengajaran dan Pembelajaran di Pusat Lulusan, CUNY, membeberkan panduannya untuk bertransisi ke "kelas dengan usaha minimal" dalam sebuah cuitan:

Kelas (transisi) dengan usaha minimal, jika diizinkan oleh departemen Anda:

- Kirimi mahasiswa Anda surat elektronik yang jelas dengan poin-poin untuk dikerjakan beserta bahan-bahan referensinya.

- Sertakan slot waktu untuk mereka dapat menghubungi atau berkonsultasi dengan Anda.

- Sarankan standar-standar, tetapi jangan mengharuskannya.

- Pengumpulan tugas melalui email, dan simpanlah dalam folder.

Beberapa kampus seperti Duke, Smith, MIT, Georgetown dan Grinnell mulai memberikan pilihan kepada para mahasiswanya untuk mengambil kelas-kelas musim semi berdasarkan situasi yang ada.

Pada sebuah masa yang memungkinkan kelas realitas maya dan program tutor terotomatisasi yang dimungkinkan oleh kecerdasan buatan, mengapa para ahli dalam hal pengajaran digital justru meminta para dosen untuk mengajar dengan lebih sederhana?

"Setiap orang ketakutan," kata Sean Michael Morris. Ia mengajar di Sekolah Pendidikan dan Perkembangan Manusia di University of Colorado, Denver. Ia juga adalah direktur di Laboratorium Pengajaran Digital, sebuah organisasi yang berfokus pada pembelajaran digital, teknologi dan keadilan sosial.

Sean Michael Morris berkata bahwa ini adalah waktu yang tidak biasa, "Menyadari bahwa kita adalah manusia, penting bagi kita untuk berusaha mengatasi masa-masa ini bersama. Ide bahwa kita dapat memindahkan segala sesuatu yang ada di kelas ke dalam lingkungan daring memiliki masalahnya sendiri. Namun, mencoba untuk melakukannya di tengah masa pandemi adalah permasalahan yang sama sekali berbeda."

Morris dan koleganya yang lain memiliki istilah bagi hal yang sedang mereka lakukan saat ini: "Panic-gogy" (gabungan dari kata 'panik' dan 'pengajaran').

Pada satu sisi, Panic-gogy berarti memahami sifat praktis para mahasiswa. Beberapa hanya memiliki ponsel pintar. Beberapa yang lain bertanggung jawab atas keluarganya. Beberapa orang dikirim pulang ke tempat asal mereka dan harus mencari tempat baru untuk tinggal, pekerjaan baru, dan asuransi kesehatan baru. Para dosen mungkin berpikir bahwa pilihan paling sederhana adalah menyelenggarakan kelas melalui percakapan video, tetapi demi semua alasan praktis "Tidaklah realistis untuk berpikir bahwa mahasiswa dapat hadir dan menjalani kelas pada waktu yang sama dalam lingkungan daring," kata Morris.

Morris juga menyarankan bahwa para dosen jangan hanya bergantung pada perangkat lunak resmi milik universitas, yang dikenal juga sebagai sistem manajemen pembelajaran, tetapi harus membuat diri mereka mudah dihubungi melalui sebanyak mungkin cara tanpa mengganggu privasi mereka baik melalui Facebook, Twitter, surat elektronik, maupun grup Whatsapp. Selain itu, mereka juga harus memastikan para mahasiswa memiliki kesempatan untuk dapat saling terhubung satu sama lain.

Ia juga menyarankan agar para dosen sebisa mungkin membiasakan diri dengan segala bantuan yang disediakan oleh universitas dan komunitas: mulai dari konseling hingga pinjaman darurat dan bantuan keuangan lainnya.

Robin DeRosa adalah direktur dari Pembelajaran dan Pengajaran Terbuka di Plymouth State University, New Hampshire. Dia berkata,"Saya pikir yang paling utama adalah bahwa kita tidak sedang membangun kelas daring atau mengubah kelas tatap muka menjadi pembelajaran daring. Yang sebenarnya kita lakukan adalah berusaha membangun rasa peduli kepada para mahasiswa kita dan mencoba untuk membangun komunitas yang akan bekerja bersama untuk menaklukkan setiap tantangan pembelajaran yang kita hadapi."

DeRosa menyatakan bahwa membuat kelas daring yang sangat baik membutuhkan waktu selama satu tahun dan memerlukan orang-orang dengan keahlian yang berbeda-beda.

"Jadi jika orang-orang berpikir bahwa dalam tiga sampai lima hari mereka dapat mengubah kelas mereka dan membangun suatu platform daring yang luar biasa bagus, hal itu kemungkinan tidak dapat terjadi," katanya.

DeRosa menyarankan agar kita meminta pendapat para mahasiswa tentang bagaimana cara terbaik untuk dapat tetap saling berkomunikasi.

"Ide pokoknya adalah untuk menolong agar mahasiswa kita merasa dilibatkan dalam proses berpikir tentang pendidikan di masa yang sulit."

DeRosa juga menyarankan agar para dosen memasukkan COVID-19 ke dalam kurikulum pengajaran.

"Bidang apapun yang Anda ajarkan, saya rasa layak untuk memunculkan pertanyaan tentang bagaimana bidang tersebut terpengaruh oleh krisis kesehatan masyarakat dan kontribusi apa yang dapat disumbangkan oleh bidang ilmu tersebut untuk menolong orang-orang dalam komunitas mereka."

Walaupun terkadang fokus saat ini adalah terhadap teknologi, alat-alat, dan logistik, Morris, dari Colorado University, Denver, berkata bahwa yang mungkin paling dibutuhkan dari para pengajar di level universitas saat ini adalah belas kasih.

"Keahlian yang benar-benar diperlukan dalam Panic-gogy adalah hal semacam belas kasih, dan jika Anda mau menambahkan, kemampuan untuk menilai situasi sebagaimana adanya. Temukan apa yang sedang terjadi, bagaimana Anda akan bekerja dalam kondisi semacam itu, dan bagaimana Anda dapat berbelas kasihan dalam mengerjakannya. (t/Pingkan)

Diterjemahkan dari: