Pelayanan Kampus Tumbuh Subur di Tengah Pandemi dengan Menarik Anak-Anak Muda dan Merintis Gereja Rumah

Caption: Bagaimana cara agar gereja dapat menjangkau anak-anak muda untuk terlibat dengan firman Tuhan dan persekutuan yang hangat? Simak pengalaman dari pelayanan mahasiswa The Center dalam artikel berikut ini.

Dalam sebuah pelayanan mahasiswa di Universitas Mary Washington, dua gembala jemaat telah melihat lahirnya beberapa gereja rumah dengan mengandalkan kekuatan kreativitas dan koneksi.

Saat gereja-gereja menutup pintu mereka pada pertengahan Maret 2020 guna membendung penyebaran COVID-19, tidak semua orang dalam The Center for Faith and Leadership, sebuah pelayanan mahasiswa di Universitas Mary Washington, siap sedia untuk bertukar pengalaman bersekutu yang dibagikan via Zoom. Jadi, sebagian orang mulai berkumpul di luar rumah Gannon dan Carey Sims, salah satu pendiri The Center, yang tinggal sekitar satu blok dari kampus kecil jurusan seni liberal.

Dengan tetap menjaga jarak di beranda rumah pasangan tersebut, mereka bernyanyi, bersaksi, dan saling mendoakan diri serta komunitas mereka. Alih-alih berkhotbah, keluarga Sims memandu kelompok tersebut dalam eksplorasi Alkitab terpadu, dan semua orang didorong untuk membagikan firman atau ayat dari renungan harian yang menyentuh atau menggerakkan mereka.

Bagi Haley Randall, 24 tahun, yang sudah lulus dari UMW dengan gelar magister pendidikan pada musim semi lalu, keikutsertaannya dalam persekutuan halaman belakang tersebut berbeda dengan jenis ibadah gereja mana pun yang pernah dia hadiri.

"Rasanya seperti khotbahnya tertulis tepat di depan mataku. Semua orang mendapat hal yang berbeda dari Kitab Suci," ujar Randall, seorang guru SMA untuk mata pelajaran sejarah dunia yang tinggal di dekat Caroline County. "Dan, pendapat semua orang dihargai. Anda juga bebas mendengar suara Allah, daripada hanya mendengarkan apa yang Dia katakan kepada orang lain."

Mengajar anak-anak muda untuk menumbuhkan relasi yang sehat dan suportif dengan sesama sambil melihat panggilan Allah adalah inti dari segala hal yang sudah dikerjakan keluarga Sims sejak mereka tiba di The Center nyaris satu dekade lalu.

Baik Gannon maupun Carey sama-sama dipekerjakan oleh Baptist General Association of Virginia atau BGAV (Asosiasi Umum Gereja Baptis wilayah Virginia - Red.), yang memiliki gedung -- bangunan seluas 4.800 persegi di seberang jalan dari kampus -- yang menaungi The Center. Namun, keluarga Sims mendeskripsikan diri mereka secara luas sebagai oikumenis dan kata "Baptis" menghilang dari radar papan petunjuk sebelum keluarga Sims tiba pada 2011.

Fungsi The Center lebih dari sekadar tempat bagi orang Kristen interdenominasi, yang menarik semua orang, mulai dari Katolik dan Ortodoks Timur hingga mereka yang tumbuh tanpa bergereja.

Setahun setelah eksperimen itu dimulai sebagai pendekatan sementara untuk beribadah selama pandemi, persekutuan halaman belakang rumah keluarga Sims telah berkembang dengan memasukkan dua tambahan gereja rumah yang dipimpin oleh orang awam -- dengan dua lagi yang sedang dikembangkan -- tempat para peserta diundang untuk mengalami firman Allah melalui meditasi, kontemplasi, dan debat.

Itu lebih mirip pengalaman spiritual mendalam daripada pelajaran religi yang biasa disampaikan oleh anggota keagamaan, kata Randall, yang sekarang menjadi pemimpin pendamping di salah satu gereja rumah tersebut. Dan, imbuhnya, karena setiap gereja rumah hanya dibatasi 12-18 orang, ada tingkat keintiman dan kehangatan yang mungkin sulit diterapkan dalam jemaat besar yang lebih tradisional.

"Kuncinya adalah mampu memiliki hubungan yang nyata dengan orang-orang yang nyata. Itu tidak sama saat Anda hanya keluar dan masuk tanpa berbicara dengan siapa pun," ujarnya. "Gereja bisa menjadi lebih dari sekadar duduk di bangku setiap Minggu. Anda bisa membawanya pulang. Gereja bisa menjadi rumah."

"Apa yang Anda inginkan agar saya lakukan untuk Anda?"

Awalnya, Gannon dan Carey Sims sudah bermaksud meneruskan pelayanan melalui pekerjaan lain yang berguna. Carey, yang memiliki gelar MBA (magister) dari Universitas Regent, sedang menumbuhkan etika Kristen dalam perannya sebagai wakil presiden dari bisnis furnitur vintage keluarganya di Virginia Utara.

Dan Gannon, lulusan Universitas Baylor, dituntun oleh prinsip serupa di Capitol Hill, tempat dia bertugas sebagai ajudan legislatif di beberapa kantor Senat sebelum bergabung sebagai staf urusan publik di kantor anti perdagangan manusia milik Departemen Negara Bagian setempat.

Setelah bertemu dalam kelompok dewasa muda dalam jemaat Episkopal di Virginia Utara dan menikah pada 2005, pasangan ini mulai merasa terpanggil -- sebagai tim -- untuk berbuat lebih. Teman-teman mereka mendorong mereka untuk masuk seminari, dan keduanya lulus dari Sekolah Seminari Duke pada 2009.

Keduanya tidak memiliki pengalaman dengan pelayanan kampus saat mereka tiba di The Center dari tempat tinggal pastoral mereka di Dallas. Namun, keduanya tahu bahwa mereka mau bekerja dengan anak-anak muda dan melakukan perintisan gereja, dan The Center sepertinya adalah tempat yang baik untuk memulai.

Asosiasi Umum Baptis wilayah Virginia mempekerjakan Carey untuk memimpin pelayanan kampus dan mengikutsertakan Gannon sebagai anggota inisiatif dari Fresh Expressions, sebuah gerakan yang dimulai di Inggris sebagai cara untuk memperkenalkan gereja dan pekerjaan misi kreatif kepada orang-orang yang secara umum tidak terafiliasi dengan komunitas rohani.

The Center mencerminkan etos serupa. Pekerjaan pasangan tersebut adalah pekerjaan yang berdasarkan kasih: secara teknis, Gannon tidak dibayar untuk usaha pelayanan kampus yang dia lakukan, meskipun dia menerapkan prinsip-prinsip Fresh Expressions dalam pekerjaannya bersama para mahasiswa. Carey menerima gaji tahunan sejumlah kecil dari BGAV, tetapi The Center berperan dalam menaikkan sekitar 70% biaya operasi tahunan mereka menjadi 60.000 Dollar AS.

BGAV memberi keleluasaan kepada keluarga Sims tentang bagaimana mereka ingin menjalankan The Center, yang waktu itu belum memiliki pendeta penuh waktu dalam beberapa tahun. Pada awalnya, pasangan tersebut berpikir untuk melakukan perintisan gereja di asrama-asrama, tetapi pelayanan lain telah memiliki kehadiran yang kuat di kampus, dan mereka tidak mau menduplikasi usaha tersebut. Kemudian, mereka memutuskan bahwa cara terbaik untuk mencari tahu apa yang dibutuhkan komunitas dari The Center adalah dengan bertanya.

Carey mengacu kepada kisah di Kitab Injil tentang pengemis buta di pinggir jalan yang memanggil Yesus saat sedang berjalan bersama para murid-Nya di dekat Yeriko. Yesus merespons, "Apa yang kamu ingin Aku perbuat untukmu?" sebelum mengabulkan permintaan laki-laki itu untuk dipulihkan penglihatannya.

"Sering kali kami tidak menghargai orang-orang dengan pertanyaan semacam itu," katanya. "Kami memberi tahu mereka apa yang kami butuhkan dari mereka, padahal seharusnya kami bertanya, 'Bagaimana kami bisa mendampingi Anda saat ini dan Anda yang akan datang?'"

Mereka mulai mengajukan pertanyaan itu dalam beberapa versi kepada semua orang yang mereka temui.

Will Negron sedang mengurus sebuah kedai kopi dekat kampus saat Carey dan Gannon mampir untuk mendapat asupan kafein. Dia dan Gannon sama-sama menyukai Americano, dan setelah mengetahui bahwa Negron bekerja penuh waktu sambil mengikuti jadwal kelas yang padat di Mary Washington, pasangan Sims itu menawarinya The Center sebagai tempat yang tenang untuk dia dapat belajar saat siang hari.

Negron, yang juga membesarkan tiga anak bersama Maria, istrinya, berkata bahwa itu menjadi tempat favoritnya untuk tidur siang.

Sementara itu, FredXchange, sebuah lembaga non-profit yang menyokong para pengusaha pemula, sudah beberapa kali mengadakan pertemuan mingguan dalam ruang privat di kedai kopi tersebut, tetapi kini mereka telah berkembang melebihi kapasitas tempatnya.

Keluarga Sims menawari mereka untuk memindahkan pertemuan-pertemuan tersebut ke The Center. Kadang, ujar Negron, dia akan membawa istri dan anak-anaknya ke acara makan malam masakan rumahan mingguan di The Center. Dan, pada hari itu, Negron, yang memiliki semangat wirausaha pemula dari kisah lamanya sendiri sebagai pelayan makanan, menanyai Carey apakah dia akan memasak makanan untuk para mahasiswa.

"Saya ingin memasak sesuatu yang tidak didapatkan para mahasiswa," ujar Negron, 44 tahun. "Sudah cukup dengan spaghetti untuk makan malam."

Dengan segera, Negron memasak makan malam sekali sebulan untuk sekitar 70-an mahasiswa di The Center, menyajikan udang dan bubur jagung, tomat hijau goreng, taco dengan bulgogi, dan hidangan yang merayakan garis keturunan khas tradisi Puerto Riconya.

The Center membelanjakan bahan-bahannya, sekitar 150 Dollar untuk setiap makanan, kata Negron, dan pengalaman itu membantunya mengerti berapa banyak makanan yang harus dibeli untuk orang banyak, cara menyajikan makanan yang kreatif dengan biaya seadanya, dan cara mengatur porsi makanan.

Ketika dia meluncurkan usaha catering pada 2017, The Center menawarkan kepadanya pemakaian dapur dan tempat penyimpanan makanan sampai dia mampu menyewa tempat untuk dirinya sendiri. Dia sendiri telah membeli truk makanan dan membuka sebuah warung makan prasmanan bernama Will's Place, tempat para pembeli dapat menikmati sajian babi panggang perlahan, pisang raja dan empanada renyah -- dengan saus coqui, mayonaise dan saus berbahan dasar kecap yang menggugah selera yang disempurnakan di The Center.

Sebelum pandemi, dia akan kembali ke The Center tiap musim gugur untuk menyambut kembali para siswa dengan sajian masakan rumahan.

"Ini semua tentang membalas budi dan mengajari orang tentang berbagai jenis makanan serta datang ke meja makan sebagai satu kesatuan," ujar Negron, yang menyebut The Center yang memberi dia kesempatan untuk mewujudkan mimpinya, yaitu memiliki sebuah wirausaha. "Relasi yang kami bentuk di sana mengingatkan saya bahwa masih ada harapan kepada orang-orang di dunia."

Salah satu slogan The Center adalah "Mulai Bermimpi Kembali".

"Bagaimana kami bisa memakai apa yang kami punya untuk membantumu meluncurkan mimpimu?" ujar Carey. "Kami ingin menolong untuk memelihara dan membangkitkan karunia yang Allah beri kepada semua orang dan menganugerahi mereka area kreatif untuk dijelajah dan mencoba hal-hal baru. Mari kita lihat bagaimana orang-orang melogikakan iman mereka -- tidak hanya pada hari Minggu, tetapi bagaimana hidup mereka menyaksikan apa yang mereka percayai?"

Potluck Rohani

Emma Hammond, 21 tahun, berkata bahwa dia merasakan kepemilikan yang meluap-luap saat pertama kali menghadiri persekutuan malam belajar Alkitab khusus wanita sebagai orang baru. Dia berusaha menyesuaikan diri dalam tahun pertamanya di Mary Washington, tempat dia juga adalah seorang pemain bola voli, dan di saat yang sama sedang berduka atas kepergian nenek buyutnya, seorang perempuan beriman yang telah mendorong Hammond untuk berbalik kepada Allah saat mengalami kesusahan.

Bahkan, sebelum masa pandemi, Hammond, yang lulus dari UMW musim semi ini dengan gelar sarjana Bahasa Inggris, mengatakan bahwa dia mulai merasa bahwa dia tidak terlalu mendapatkan banyak di luar pengalaman beribadah di gereja tradisional pada hari Minggu seperti yang dia pernah alami.

"Saya akan duduk di gereja dan merasa sedikit kesepian. Saya menyadari bahwa saya akan menghabiskan seluruh minggu dengan mendengarkan dosen saya berbicara, ceramah seperti biasa, dan saya jadi ingin bercengkerama dengan teman-teman, melihat kondisi mereka dan menceritakan keadaan saya," katanya. "Jadi, saya perlahan-lahan berhenti ke gereja."

Sebagai alternatif, dia menyarankan The Center untuk menawarkan "gereja pancake" pada Minggu, waktunya orang-orang dapat menikmati sarapan dan berbincang-bincang bersama.

Sekitar dua bulan kemudian, ketika gereja-gereja menutup pintu mereka untuk ibadah tatap muka, itulah yang secara esensi diselenggarakan oleh keluarga Sims di beranda belakang rumah mereka -- sekalipun dengan liturgi dan komuni.

Seperti Randall, Hammond berkata bahwa natur keikutsertaan dari pelayanan tersebut menolong dirinya memproses dan memahami Kitab Suci dalam cara yang berbeda dari sebelumnya.

Seiring pertumbuhan dari kelompok penyembah di halaman belakang keluarga Sims dan cuaca yang semakin dingin, keluarga Sims memindahkan beberapa kelompok ke dalam rumah, saat dua kelompok regular -- Randall dan Fredericksburg, warga asli Gordon Wiss, 23 -- menawarkan diri untuk memimpin kelompok gereja rumah kedua di dalam ruang tamu The Center, dengan model pelayanan yang sama. Kelompok ketiga sekarang mengadakan pertemuan di sebuah rumah di seberang jalan rumah keluarga Sims.

Setiap Minggu pagi, dua fasilitator pelayanan (sebagaimana mereka menyebut diri) memasang pertemuan Zoom di setiap rumah dengan Carey dan Gannon serta memilih bahan bacaan dari Revised Common Lectionary. Sekitar satu jam berikutnya, pelayanan pribadi itu sendiri pun dibuka dengan satu Mazmur dan diikuti waktu untuk refleksi dan mengucap syukur.

Kemudian, mereka menjelajahi bahan bacaan yang sudah dipilih pagi itu, dengan memakai praktik "lectio devina" dari Benediktus atau "bacaan ilahi". Para peserta membaca ayat secara lantang sebanyak 4 kali, termasuk salah satu sebagai sebuah doa dan yang lainnya lebih sebagai meditasi, sebelum meneliti makna dari Kitab Suci dalam grup diskusi. Sekali sebulan, gereja-gereja rumah itu berkumpul untuk ibadah gabungan dan komuni di ruang tamu The Center yang luas.

Memiliki dua fasilitator berarti bahwa saat salah satu memimpin bagian pelayanan, yang lain bisa mengatur suhu ruangan, memastikan suara semua orang terdengar, ujar Randall. Hal itu membantu, imbuh Wiss, jika fasilitatornya memiliki kemampuan pelengkap.

"Semua orang memiliki pengalaman hidup yang berbeda, kematangan spiritual yang berbeda, kepekaan kepada Roh Kudus yang berbeda pula," ujar Wiss, seorang konsultan teknik. "Kita semua punya sudut pandang berbeda yang kita bagikan satu sama lain, dan itu seperti potluck rohani -- semua orang punya makanan untuk dibawa ke dalam diskusi."

Wiss, yang ibunya adalah pelayan kampus Baptis di Mary Washington pada akhir 90-an, berkata bahwa dia merindukan pengalaman bergereja secara tradisional dan berharap bisa melihatnya terjadi kembali setelah pandemi berakhir. Namun, dia juga menekankan bahwa gereja rumah memungkinkan pertumbuhan rohani yang luar biasa di antara para peserta dan menarik minat mereka yang kurang nyaman untuk pergi ke gereja.

Bagi para aktivis gereja, gaya ibadah adalah "pelajaran untuk mengatasi dirimu sendiri," ujar Gannon, karena ibadah lebih kepada suatu pengalaman yang kolektif dan dipimpin oleh orang awam. Dia sedang menulis sebuah buku melalui Fresh Expressions untuk menuntun komunitas lain yang tertarik dalam usaha pengerjaan gereja rumah, baik sebagai pendekatan primer untuk ibadah atau sebagai pendukung bagi pelayanan gereja tradisional.

"Saya percaya dengan cara menjalankan gereja yang mudah dibawa dan rendah biaya," ujarnya, dengan menambahkan bahwa kesuksesan tidak diukur dengan seberapa banyak gereja rumah yang dirintis atau sebaik apa mereka menghadiri kegiatan di dalamnya. "Itu bukan soal jumlah. Itu adalah perihal cerita, kesaksian, dan relasi."

Randall, Wiss, dan Hammond masing-masing menekankan bahwa keluarga Sims tidak pernah memaksakan peran kepemimpinan kepada mereka atau siapa pun di The Center.

Sebaliknya, mereka melengkapi anak-anak muda dengan alat-alat untuk menjadi sehat secara emosi dan matang secara spiritual sehingga mereka bisa memahami sendiri ke jalan mana Allah memanggil mereka dan membantu orang lain untuk berbuat serupa.

"Dengan mengerjakan gereja semacam ini dalam komunitas semacam ini dalam percakapan, mereka membentuk pemimpin-pemimpin matang lainnya," kata Hammond. "Mereka benar-benar berinvestasi dalam hidup banyak anak muda. Hal itu membutuhkan banyak waktu, doa, dan kesetiaan. Namun, begitulah cara mereka memimpin."

Pertanyaan untuk dipertimbangkan:

  • Bagaimana organisasi Anda menumbuhkan kondisi bagi orang-orang untuk merasa bebas mendengarkan suara Allah?
  • Bagaimana jemaat Anda membawa gereja pulang bersama mereka ke rumah? Bagaimana gereja bisa menjadi rumah bagi mereka?
  • Secara organik, The Center menjadi tempat untuk dipakai orang lain. Bagaimana Anda dapat memikirkan kembali tempat Anda sebagai tempat terbuka untuk kebutuhan orang lain -- baik itu untuk tidur siang atau rapat atau makan atau pelayanan?
  • Bagaimana gereja Anda bisa menjadi landasan luncur bagi mimpi-mimpi orang lain?
  • Gaya ibadah The Center sangat populer di kalangan anak muda karena ia berbagi tanggung jawab dengan mereka. Bagaimana gereja Anda melengkapi anak-anak muda agar percaya pada kemampuannya untuk memimpin?
  • Bagi keluarga Sims, keberhasilan gereja rumah The Center yang baru tidak diukur dengan pertambahan jiwa-jiwa, tetapi dalam "cerita, kesaksian, dan relasi" yang berkembang. Bagaimana gereja Anda mengukur keberhasilan? Cerita, atau kesaksian, atau relasi seperti apa yang merujuk kepada keberhasilan gereja Anda?

(t/Nikos)

Diterjemahkan dari:
Nama situs : Faith & Leadership
Alamat situs : https://faithandleadership.com/campus-ministry-thrives-pandemic-appealing-young-people-and-planting-house-churches
Judul asli artikel : A campus ministry thrives in the pandemic by appealing to young people and planting house churches
Penulis artikel : Edie Gross