Roti dan cawan yang dibagikan melalui Zoom untuk Anda

Bisakah para hamba Tuhan memberkati Meja Perjamuan Tuhan melalui aplikasi Zoom? Pandemi global memberikan konteks yang sama sekali baru bagi pertanyaan yang belum teruji secara teologis dan -- untuk beberapa dari kita -- sebagai sesuatu yang tidak terpikirkan ini. Mungkin sudah waktunya kita mempertimbangkan apa yang selama ini kita maksud dengan “kehadiran.”

Saat ini, pedoman nasional membatasi pertemuan sehingga tidak lebih dari 10 orang. Gereja telah beralih menjadi ibadah daring dan persekutuan menjadi konferensi video melalui aplikasi Zoom.

Khotbah secara streaming bukanlah suatu masalah karena kita sudah terbiasa dengan firman Tuhan yang disampaikan melalui sarana digital. Sebuah studi yang baru-baru ini dilakukan oleh Pew Research Center dengan mudah mengumpulkan 50.000 khotbah daring, mulai dari aliran Pantekosta sampai Katolik. Dan, menurut penelitian, 83% pendeta Protestan di Amerika setuju bahwa menonton siaran khotbah adalah alternatif yang bisa diterima bagi mereka yang sedang sakit.

Kontroversi yang terjadi adalah pada aspek pelayanan Perjamuan Kudusnya. "Inilah tubuhku" -- Kata-kata Kristus itu membuat iman kita menjadi nyata secara eksplisit. Namun, COVID-19 telah mengubah tubuh fisik dan pertemuan-pertemuan kita, dari kesatuan yang penuh berkat menjadi pemisahan akibat pembatasan sosial (social distancing). Pelukan dan jabat tangan menjadi sesuatu yang menimbulkan rasa takut, bukan kasih. Roti dan cawan menimbulkan kekhawatiran akan penularan virus.

Dengan pertemuan-pertemuan yang dibatalkan, gereja-gereja dengan jadwal Perjamuan Kudus tiga bulanan mungkin harus menggeser sedikit jadwal mereka. Akan tetapi, bagaimana dengan kaum Injili beraliran Lutheran, Anglikan, dan Presbiterian yang merayakan Meja Perjamuan Tuhan dengan roti dan anggur setiap minggu? Bagi mereka, Perjamuan Kudus adalah sesuatu yang sudah diatur dalam tata ibadah dan integral dalam kegiatan ibadah itu sendiri. Bagaimana solusinya? Apakah kita harus hadir secara fisik di gereja untuk dapat dianggap hadir dalam Perjamuan Kudus?

Beberapa gereja yang tidak menitikberatkan ibadah mereka pada liturgi, sakramen, maupun otoritas pelayannya seperti Saddleback Church telah lama menawarkan instruksi untuk mengikuti Perjamuan Kudus dengan air anggur Anda sendiri melalui layanan streaming. Meski demikian, hal ini sudah lama dilakukan pada tahun 1990-an oleh situs eHolyCom. Namun, sementara United Methodist Church menulis makalah eksplorasi mengenai hal ini pada 2013, sebagian besar denominasi sakramental telah merendahkan Perjamuan Kudus daring menjadi masalah teologis yang eksotis -- menyamakannya dengan teologi yang bertanya "Bisakah makhluk luar angkasa diselamatkan?" (atau kepada katedral virtual dalam permainan video Second Life yang imersif). John Dyer menawarkan survei terbaru dan ekstensif mengenai hal ini.

Bagi banyak orang, perjamuan kudus daring tidak dapat dipertanggungjawabkan. Pengakuan Westminster bab 27, poin ke-4 dengan jelas melarang hal ini. Seorang profesor beraliran reformed konservatif memberi tahu saya, "Situasi yang Anda gambarkan itu pada dasarnya adalah Perjamuan Kudus secara pribadi."

Namun, situasi hari ini memaksa pertimbangan ulang mengenai peraturan itu. COVID-19 mungkin merupakan percikan api, tetapi kayu bakar yang menjadi bahan bakar itu bukanlah wacana teologis. Hal itu ada dalam pesan teks yang Anda kirim ke pasangan Anda. Pesan digital yang membawa realitas instan, momen keintiman dan kehadiran yang menggerakkan hati dan pikiran kita -- lebih daripada kehadiran secara fisik orang asing yang duduk di dekat Anda di sebuah kedai kopi (atau mungkin di bangku gereja Anda saat ibadah).

Sarana komunikasi digital telah menjadi sesuatu yang biasa sekaligus tidak terlihat dalam hubungan kita yang paling bermakna. Kita tertawa dan menangis, mengekspresikan keintiman dan rasa frustrasi melalui berbagai emoji, melalui sarana aplikai FaceTime dan Instagram. Kita menantang teman kita melalui aplikasi olah raga dan mengajukan pertanyaan medis melalui Telehealth.

Kata pentingnya adalah 'kehadiran' -- bersama dengan perubahan budaya yang dramatis dan yang berkelanjutan dalam pemahaman kita tentangnya. Budaya digital sehari-hari telah membentuk interaksi kita sampai pada titik bahwa 'keberadaan' manusia tidak sama dengan 'kehadiran' mereka secara fisik.

Para ilmuwan komunikasi telah lama memahami hal ini. Kehadiran kita telah diwakili oleh foto profil dan nomor telepon yang terverifikasi sehingga membuat lawan bicara kita mengenali kita. Kehadiran kita juga telah diwakili oleh tanda interaktif real-time (seperti tiga titik yang muncul ketika lawan bicara Anda sedang mengetik balasan atas pesan Anda). Begitu pula ikon resolusi rendah seperti gambar jempol, atau ekspresi wajah beresolusi tinggi (ketika kita beralih ke video).

Hal normal yang baru ini telah mengubah kita. Teknologi baru yang pertama kali muncul sebagai mainan ini (ya, kita dulu bermain-main dengannya) segera berubah menjadi alat (sesuatu yang kita gunakan), dan kemudian menjadi lingkungan teknologi kita -- yang memberi makna baru dari sesuatu seperti "SMS" menjadi "percakapan" (atau argumen!). Teknologi yang membentuk lingkungan inilah yang mengalihkan fokus dari teknologi kembali kepada substansi kehadiran manusia. Dalam lingkungan yang demikian, seseorang dapat dikatakan hadir meski secara fisik tidak berada di situ.

Lalu, apa hubungan antara kehadiran melalui teknologi ini dengan kehadiran sakramental?

Kontroversi yang ada di sekitar Perjamuan Kudus biasanya terjadi dalam aspek metafisik dan aspek kepraktisan. Air anggur atau jus anggur? Roti beragi atau tidak beragi? Namun, kontroversi yang paling utama adalah di sekitar kehadiran Allah yang nyata. Apakah Perjamuan Kudus merupakan sarana kasih karunia? Sebuah peringatan? Satu milenium Midrash menguraikan tentang kalimat Yesus, "Ini tubuhku ... lakukan ini untuk mengenangku."

Hampir semua orang Kristen setuju: Ada misteri kudus dalam cara Allah menghadirkan kita di Meja Perjamuan-Nya. Dalam bahasa komunikasi, saya yakin bahwa kehadiran Yesus dimediasi oleh elemen-elemen dalam Perjamuan Kudus. Dia dimediasi dalam roti dan anggur, Roh Kudus, dan umat Allah (tubuh Kristus). Kehadiran-Nya dimediasi oleh elemen-elemen itu, seperti kebenaran dan keintiman yang dimediasikan oleh pesan teks "Aku cinta kamu" yang Anda kirim ke pasangan Anda.

Bayangkan sebuah konferensi video dengan 40 wajah dalam kotak-kotak kecil di layar, dengan masing-masing orang membawa sebuah cangkir berisi air anggur dan sepotong roti. Dalam konferensi video itu, semua orang menyembah Tuhan dan berdoa. Lalu, pendeta yang memimpin konferensi video itu menguduskan air anggur dan roti yang dibawa setiap orang dengan berkata, “Utuslah Roh-Mu ke atas karunia-karunia ini” -- Roh Allah yang non-fisik, yang serba hadir. Kemudian sebagai satu tubuh, kita mengambil bagian dalam Perjamuan itu bersama. Dalam kesatuan. Bukan secara pribadi, tetapi hadir antara satu sama lain.

Argumen dari generasi sebelumnya tentang Perjamuan Kudus digital berkisar pada hal yang biner: luring dan daring. Internet dipandang sebagai sesuatu yang anonim dan individualistis. Keyboard yang dingin tidak dapat dibandingkan dengan jabatan tangan yang hangat.

Namun, konferensi video yang tadi kita bayangkan bukan lagi sesuatu yang sekadar bayangan. Hal itu adalah perpanjangan dari relasi antarbagian tubuh Kristus dalam suatu jemaat lokal. Tidak bisakah tanda-tanda kehadiran Allah (roti dan anggur) dan tanda-tanda kehadiran kita (senyum dan suara kita) menjadi tanda yang nyata bagi kebaikan yang diwujudkan dan realitas dunia spiritual? Tidak ada yang Gnostik atau tidak berwujud dalam hal ini; tubuh dalam konferensi video itu benar-benar nyata, roti Perjamuan asli, dan kehadiran Allah Tritunggal yang benar-benar nyata dalam konferensi video akhir pekan ini -- dan dengan sukacita kita teruskan dalam ibadah bersama secara fisik saat wabah ini berlalu.

Pergeseran budaya sering kali menjadi lempeng tektonik tempat gereja dibangun ketika kita menerapkan Firman yang tidak berubah ke dunia yang terus berubah. Karunia fisik Allah bagi umat Allah saat ini. (t/Yudo)

Chris Ridgeway menulis di persimpangan antara iman dan teknologi. Dia adalah rekan penyiar dari Device & Virtue podcast tentang etika dan teknologi sehari-hari dan tinggal di Chicago.

Diterjemahkan dari: