Berita-berita setiap hari memberitahu kita bahwa negara-negara, satu per satu, sedang menutup perbatasan mereka untuk orang-orang asing.
Hal ini bukanlah hal yang baru. Pada tahun 49 M, Kaisar Claudius memutuskan bahwa cara terbaik untuk menghentikan perlawanan di tempat-tempat ibadah melawan Chrestus adalah dengan memaksa keluar semua orang Yahudi – orang-orang Kristen dan juga non-Kristen – dari Roma (Suetonius, Divus Claudius 25.4).
Sebagai akibatnya, Akwila dan Priskila pindah ke Korintus, membangun bisnis membuat-tenda mereka, dan mempekerjakan seorang pengkhotbah yang mengembara, Paulus, sebagai tenaga magang pada bisinis mereka (Kis. 18:1–4). Paulus tinggal bersama mereka selama satu setengah tahun dan mendirikan gereja di Korintus.
COVID-19 memiliki paksaan atau pengeluaran dengan paksa yang mirip. Saya menerima sebuah pemberitahuan pagi ini dari Air China bahwa penerbangan saya dari Singapura ke Beijing pada bulan April, untuk perjalanan saya ke Amerika, telah dibatalkan.
Terdampar di sebuah negara yang aman dan maju secara medis, saya bertanya-tanya apa yang dihadapi oleh orang-orang Kristen mula-mula saat mereka mengemasi barang-barang mereka dan mengembara di Eropa Timur dan Turki ketika Roma menutup pintunya.
Tidak memiliki rumah adalah mengerikan dan menakutkan. Meskipun saya belum pernah mengalami hal itu, saya pernah dikelilingi oleh orang-orang yang melarikan diri dari rezim yang sulit.
Akan tetapi, selalu ada hal yang baik – orang-orang percaya telah memberitakan Injil ke mana pun mereka pergi. Saya mengingat Ram dan Mary, murid-murid saya dulu di India, yang tidak hanya memberitakan Injil di India tetapi juga di Amerika saat mereka mengembara dari negara ke negara ketika mereka dikeluarkan dari Myanmar.
Jika bukan karena Akwila dan Priskila dan keramahan mereka kepada Paulus (Kis. 18:2-3), penduduk di Korintus tidak akan pernah mendengar Injil dan kita tidak akan memiliki dua surat yang agung, 1 & 2 Korintus.
Allah sendiri bisa mendatangkan keindahan dari bencana. Hal yang sama berlaku dari keadaan kita saat ini.
Putra saya, yang bekerja dalam industri yang berhubungan dengan keramah-tamahan, pelayanan, dan hiburan untuk para tamu, tinggal di rumah tanpa pekerjaan karena bisnisnya tutup sampai waktu yang tidak tentu. Saat ini, atasannya telah menjanjikan pekerjaannya aman dan dia akan menerima pendapatan. Akan tetapi, apa yang akan terjadi jika penutupan terus berlangsung, tidak ada seorang pun yang tahu. Dia mungkin kehilangan pekerjaan dan harus mencari pekerjaan lain.
Salt&Light melaporkan tentang sepasang suami istri yang meninggalkan pekerjaan yang menguntungkan untuk melayani anak-anak, tetapi kemudian justru mendapati bahwa semua pemesanan pelayanan musik mereka selama beberapa bulan ke depan telah dibatalkan.
Pusat-pusat pedagang asongan, pujasera, dan tempat-tempat perbelanjaan kosong. Taxi-taxi berjajar di bandara dan objek wisata seperti Gardens by the Bay tidak memiliki pengunjung. Orang-orang takut pergi ke luar karena sebuah virus yang tidak kelihatan dan jahat.
Akan tetapi, Allah bisa menggunakan waktu ini. Bagaimana?
1. Allah dapat menggunakan isolasi kita untuk mendekatkan hati kita kepada-Nya.
Dalam Mazmur 69, Daud berbicara tentang sebuah waktu ketika dia sendirian dan terasing: “Aku tenggelam di rawa yang dalam, di sana tidak ada tempat bertumpu. Aku masuk ke air yang dalam, yang arusnya menghanyutkanku.”
Akan tetapi, bahkan di sana dia menemukan Tuhan dan berseru kepada Dia.
Ketika menara kembar dihancurkan pada 9/11, dilaporkan bahwa orang-orang pergi ke gereja untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Orang-orang mencari Allah pada masa penderitaan dan kedukaan. Ini adalah waktunya untuk berdoa memohon pembebasan dari Dia.
Ketika gereja-gereja menutup pintu mereka dan dijalankan secara daring, itu bukanlah sebuah alasan untuk lupa beribadah atau berdoa. Kita menjadikan rumah kita sebagai “rumah doa.”
Kita menyembah Bapa dalam kenyamanan rumah kita dan menyembah Dia dalam Roh dan Kebenaran (Yoh. 4:23–24).
2. Kita bisa membuka hati kita untuk orang-orang yang menutup negara-negara mereka
Istri saya dan saya naik taxi bersama seorang Italia yang tinggal di Singapura. Paspornya mengasingkan dia dari masyarakatnya. Saat kami berbagi taxi, kami mulai melihat sisi keindahan pada dirinya. Dia jatuh cinta pada seorang Malaysia. Mungkin suatu hari, mereka akan menikah.
Akan tetapi, dia adalah seseorang yang dirugikan dan diasingkan karena paspornya. Sebagai orang-orang Kristen, kita bisa menampung mereka (1 Petrus 4:9), seperti Akwila dan Priskila yang menampung Paulus. Mereka sendiri adalah para pengungsi, tetapi mereka membawa pengkhotbah yang mengembara, seorang migran, ke dalam rumah mereka. Sebagai hasilnya, sebuah gereja lahir di Korintus.
3. Kita bisa berdoa bersama memohon agar belas kasih Allah dicurahkan, sekali lagi, dan memulihkan kita
Saya sekarang melakukan lebih banyak tindakan pencegahan – seperti mencuci tangan dan tidak menyentuh wajah saya – daripada berdoa agar Allah campur tangan dan menghentikan virus ini. Iman saya terhalang dan ketakutan saya menjadi bertambah-tambah.
Akan tetapi, Allah yang menghentikan wabah hitam dan banyak wabah lainnya bisa sekali lagi mencegah COVID-19 menjadi sebuah pandemi yang membinasakan bangsa-bangsa. (Yakobus 5:14)
Jadi kita berdoa. Kita berdoa dengan sungguh-sungguh agar Allah campur tangan dan menghentikan pandemi ini supaya bangsa-bangsa bisa sekali lagi membuka perbatasan-perbatasan mereka, perdagangan bisa meningkat, mereka yang kehilangan pekerjaan bisa mendapatkannya kembali, dan kita bisa ada dalam ketenangan.
Kita berdoa memohon belas kasih-Nya. Kita berdoa memohon Dia campur tangan. Dan, kita menampung orang-orang yang tidak punya rumah.(t/Jing-Jing)
Diambil dari:
- Nama situs: Salt Light
- URL: http://saltandlight.sg/faith/when-countries-shut-their-doors-we-open-our-hearts/
- Penulis artikel: Dr. Andrew Spurgeon
- Judul asli artikel: When Countries Shut Their Doors We Open Our Hearts
- Tanggal akses: 30 Maret 2020