Satu hal yang tidak kita perlukan pada awal tahun adalah lebih banyak waktu daring dan lebih sedikit waktu di gereja, tetapi itulah yang sebenarnya terjadi. Dan, itu tidak bermanfaat.

Selama beberapa bulan terakhir, saya telah mendengar dari pendeta-pendeta di seluruh Amerika Serikat, dari Uganda hingga Kanada hingga Australia, yang melaporkan tren yang sama: anggota jemaat meninggalkan gereja mereka dan gereja mereka menerima jumlah pengunjung yang tidak biasa dari gereja-gereja lain. Mengingat semua pergolakan politik dan budaya, bagi banyak orang, ini telah menjadi musim untuk mengeksplorasi atau menyelidiki dan melanjutkan hidup.

Meskipun ada sejumlah alasan valid mengapa orang Kristen pindah gereja, saya tetap ingin mengatakan: berpikirlah dua kali sebelum pindah gereja selama COVID-19. Tidak semua perubahan itu buruk, tetapi kita bisa bersikap terlalu santai tentang keputusan berat ini.

Apa yang Perlu Dipertimbangkan Sebelum Meninggalkan Gereja Anda

Seorang jurnalis mengamati bahwa 2020 dimulai seperti 1974 (krisis pemakzulan), kemudian dengan cepat berubah menjadi seperti 1918 (pandemi), lalu berubah menjadi seperti 1929 (kehancuran ekonomi), dan sekarang seperti 1968 (kerusuhan perkotaan besar-besaran). Dengan segala sesuatu yang dipolitisasi, dengan semburan berita buruk yang tiada akhir, dan dengan algoritme yang mengonfirmasi dan memperkuat ketakutan terburuk kita, tidak heran jika tahun ini menjadi tahun yang menegangkan.

Ini adalah bukti polarisasi zaman kita bahwa beberapa orang meninggalkan gereja yang sama karena alasan yang berlawanan -- gereja telah menjadi terlalu politis atau tidak cukup politis. Dalam masa rasial ini -- setidaknya dalam konteks Amerika -- ada yang mengatakan bahwa mengatasi ketidakadilan rasial berarti meninggalkan Injil, sementara yang lain mengatakan bahwa mengatasi beberapa bahaya "anti-rasisme" berarti membangun supremasi kulit putih.

Menyadari bahwa setiap konteks itu unik dan situasi bisa lebih kompleks daripada yang terlihat, berikut empat hal yang perlu dipertimbangkan jika Anda tergoda untuk meninggalkan gereja selama peristiwa sekali-dalam-seabad ini.

1. Pertimbangkan Kembali Alasannya

Dengan adanya waktu untuk refleksi, mungkin beberapa orang telah mengenali kekurangan rohani yang parah di gereja mereka sehingga mereka tidak dapat tetap tinggal tanpa merasa ada yang salah. Jadi, tidak beda dengan musim-musim lainnya, ini adalah masa yang terbaik untuk pergi dan bergabung dengan gereja lain.

Namun, saya juga telah mendengar segala hal mulai dari kurangnya pengasuhan anak, pembatasan karena COVID hingga "tidak merasa terhubung" menjadi alasan orang meninggalkan gereja mereka. Hari-hari ini, tampaknya apa saja -- mulai dari yang serius hingga yang sepele -- dapat menjadi pembenaran untuk berpindah gereja. Lagi pula, rasa frustrasi yang berlarut-larut tidak lagi diimbangi dengan sisi positif yang didapat dari kebersamaan. Tanpa kedekatan, kecemasan meningkat tanpa henti.

Saya juga telah melihat godaan secara politik dan budaya untuk mengalahkan yang teologis -- atau setidaknya untuk segala sesuatu dipandang sebagai satu paket. Seperti yang ditulis Kevin DeYoung, "Saya khawatir dalam bulan-bulan dan tahun-tahun mendatang, kita akan melihat orang-orang Kristen, gereja-gereja, dan gerakan-gerakan Injil merombak asosiasi mereka berdasarkan persatuan bukan dalam kebenaran kristologis dan soteriologis bersama, melainkan dalam kesamaan naluri politik dan budaya kita." Kita menunjukkan kesombongan orang-orang Korintus ketika kita memisah-misahkan tubuh Kristus atas hal-hal yang penting, tetapi sifatnya duniawi (lih. 1 Kor 3:5 dst.).

Mungkin satu pertanyaan yang perlu diajukan adalah mengapa Tuhan menempatkan Anda di gereja Anda pada awalnya. Jika alasan tersebut tidak berubah, mungkin tidaklah bijaksana jika Anda memutuskan untuk pergi. Perlu juga dicatat bahwa pembatasan karena COVID dan kekacauan budaya ini hanya bersifat sementara; mengapa membuat perubahan jangka panjang sebelum situasinya menjadi tenang?

2. Libatkan Pemimpin

Karena gereja tidak mengadakan pertemuan, dapat dimengerti jika beberapa orang Kristen berkumpul sementara dengan jemaat gereja lain. Meski begitu, betapa tragisnya ketika orang percaya secara sepihak pergi tanpa berkonsultasi dengan pemimpin mereka -- suatu bentuk penyelinapan gerejawi. Atau lebih buruk lagi, mereka tidak hanya pergi, tetapi juga mencoba membujuk orang lain, entah dengan cara halus atau tidak, dengan mengatakan bahwa memutuskan untuk tetap tinggal di gereja itu adalah sebuah masalah.

Pemimpin-pemimpin kita adalah mereka yang harus mempertanggungjawabkan bagaimana mereka menjaga jiwa-jiwa (Ibr. 13:17). Jika kita melepaskan diri dari pengawasan mereka, kita merampok diri kita sendiri dari sarana pertumbuhan rohani yang ditetapkan Tuhan. Kitab Suci mengatakan kepada kita bahwa "jika ada banyak penasihat, keselamatan ada di sana" (Ams. 11:14b). Mengapa kita tidak memercayai hikmat Allah dengan senang hati menundukkan diri kepada hikmat pengambilan keputusan dari para penatua yang saleh? Jika ada perbedaan yang tidak dapat dijembatani sekalipun, mengapa kita tidak melibatkan kekhawatiran itu secara langsung dengan keterbukaan, anugerah, dan kasih?

Tidak ada pendeta yang mengikuti kursus seminari tentang menggembalakan di tengah pandemi, jadi bersabarlah dengan mereka. Tunjukkanlah kasih karunia dan percayailah mereka (1 Kor. 13:7). Ya, pendeta akan membuat kesalahan, dan kita semua yang ada di belakang akan berharap kita melakukan sesuatu secara berbeda. Namun, pandemi atau tidak, "hormatilah mereka yang bekerja keras di antaramu dan yang memimpinmu dalam Tuhan ... dan ... hargailah mereka sungguh-sungguh dalam kasih karena pekerjaan mereka" (1 Tes. 5:12-13).

3. Berjalanlah Perlahan

Pada zaman ketika loyalitas melemah sekarang ini, kita selalu berada dalam situasi ketika keputusan untuk pindah hanya sejauh satu lagi pengalaman layanan konsumen yang buruk -- begitu pula dengan banyak orang Kristen dan gereja. Ketahanan komitmen kita hanya sekuat ketahanan "kepuasan pelanggan" kita pada saat tertentu, yang artinya tidak punya ketahanan sama sekali. Kita cenderung menyikapi keanggotaan gereja lebih seperti keanggotaan gym daripada hubungan perjanjian, dengan opsi untuk "membatalkan" keanggotaan kita saat kita merasa tidak puas.

Bahkan, jika ada alasan bagus untuk berpindah gereja sekalipun, bisa saja ada cara yang buruk untuk melakukannya -- cara yang menghalangi kesaksian, menciptakan luka relasional yang tidak perlu, dan berpotensi memecah belah jemaat. Unsur penting yang kita butuhkan dalam hal ini -- dan kebanyakan keputusan sulit lainnya dalam hidup -- adalah waktu. Kita perlu waktu untuk memahami motivasi kita; waktu untuk berbicara dengan para pemimpin gereja kita; waktu bagi kita untuk berdoa bersama; waktu untuk saling berpengertian; waktu untuk pengampunan dan pertumbuhan. Mengingat kecenderungan kita terhadap spiritualitas gelombang mikro, alangkah baiknya jika kita memperlambat langkah kita.

4. Tetap Bertahan (untuk Sementara Waktu)

Mungkin saja gereja Anda telah meninggalkan Injil dengan menyerah kepada ideologi yang terbangun atau omong kosong tentang darah dan tanah (slogan Nazi yang diucapkan oleh kaum nasionalis kulit putih di Chatlottesville - Red.). Mungkin saja tahun 2020 ini telah memunculkan pandangan yang berbahaya dan tidak alkitabiah. Jika itu benar-benar terjadi, ketaatan kepada Tuhan mungkin mengharuskan Anda untuk pindah.

Namun, bagaimana jika Anda salah? Bagaimana jika keinginan hari ini, yang diperkuat oleh momen politik dan wacana media sosial, mengaburkan penilaian Anda? Kita dengan tepat menekankan kemurnian doktrinal, tetapi pernahkah Anda mempertimbangkan bagaimana persatuan -- yang sama pentingnya sebagai kebajikan Kristen -- sering diabaikan? Bukankah sudah seharusnya Anda sangat berhati-hati dalam mengoyak tubuh Kristus pada saat yang rentan seperti demikian?

Ini tahun yang sulit. Banyak dari kita sedang bergumul. Akan tetapi, gereja lokal sebenarnya adalah instrumen Tuhan untuk membantu para pejuang tetap bertahan. Itulah kebenaran yang sering dilupakan. Fakta bahwa pandemi ini telah memudahkan kita bersembunyi di balik layar atau berpindah ke jemaat yang berbeda tentunya tidak membantu. Namun, kecuali ada serangan bid'ah -- dan kita harus lambat untuk mengangkat tuduhan ini -- atau pemimpin telah menyimpang dari hal-hal utama (1 Kor. 15:3), tetaplah tinggal. Setialah. Jalanilah ketidaknyamanan Anda dalam konteks orang-orang tidak sempurna yang mengenal Anda dan peduli pada jiwa Anda.

Terkadang kesetiaan berarti pergi keluar. Meski demikian, itu lebih sering berarti tetap tinggal. (t/Jing-jing)

Diterjemahkan dari:
Nama situs : The Gospel Coalition
Alamat situs : https://www.thegospelcoalition.org/article/think-twice-switching-church/
Judul asli artikel : Stop! Think Twice Before Switching Churches in 2020
Penulis artikel : Ivan Mesa
Tanggal akses : 3 November 2020