“Jika Allah di pihak kita, siapakah yang dapat melawan kita? Dia yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimana mungkin Ia, bersama-sama dengan Dia, tidak memberikan dengan murah hati segala sesuatu bagi kita?” - Roma 8:31–32 (AYT)

“Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.” - Filipi 1:21 (AYT)

Hari kelima. 398.107 kasus terkonfirmasi, 17.454 kematian secara global.

Apakah terlalu dini untuk berbicara tentang sukacita? Tak terhitung banyaknya orang-orang yang sedang menderita. Ketakutan menghantui rumah-rumah kita. Kota-kota kita sepi, sekolah-sekolah kita ditutup, rumah sakit-rumah sakit penuh sesak. Para ayah dan para ibu bertanya-tanya bagaimana mereka akan memberi makan anak-anak mereka.

Kita berduka dengan mereka yang berduka dan menangis dengan mereka yang menangis. Ini adalah masa-masa yang mengerikan. Tidaklah salah untuk berduka, atau meratap, atau menangis.

Akan tetapi, sukacita itu seperti permata, paling berharga ketika itu paling langka. Ketika dunia tidak bisa menemukan alasan untuk bersukacita, maka orang-orang Kristen yang bersukacita adalah kesaksian yang sangat besar pengaruhnya.

Sukacita Kristen adalah lebih mendalam daripada kebahagiaan biasa. Tidak ada yang dangkal atau tidak tulus, atau naif tentangnya. Sukacita Kristen, di tengah penderitaan, adalah hal yang sulit, berat, dan menantang.

Rasul Paulus tahu penderitaan. Dia dianiaya dan dipukuli dan mengalami kapal karam. Akan tetapi, dia tahu bahwa hidup ini penuh dengan peluang untuk bertemu dan mengikut Yesus Kristus dan dalam kehidupan selanjutnya kita akan bersama dengan Dia. Mana ada tujuan yang lebih besar lagi untuk bersukacita? Paulus tahu bahwa Allah yang sama, yang memberikan karunia terbesar tidak akan gagal untuk memberi kita karunia yang kurang. Jadi, meskipun kita tertawan, bahkan ketika kita ditimpa kemalangan, kita punya tujuan untuk sebuah sukacita yang tak terkalahkan. Kedukaan kita berakar pada keadaan kita, akan tetapi keadaan itu berlalu dengan cepat. Sukacita berakar pada kasih Allah, dan kasih Allah itu kekal selamanya.

Saya dulu mengira hikmat mengenakan wajah yang menyedihkan. Pengajar dalam Pengkhotbah mengungkapkan pandangan duniawi yang biasa ketika dia mengutip, “Sebab dengan banyak hikmat, ada banyak kesusahan, dan dia yang memperbanyak pengetahuan memperbanyak kesengsaraan” (Pengkhotbah 1:18, AYT).

Akan tetapi, Kristus mengubah hikmat duniawi. Di dalam Kristus ada hikmat yang lebih dalam. Kebenaran Allah telah mengalahkan dosa dunia. Kehidupan telah mengalahkan kematian. Akan tiba suatu hari ketika kebencian dan perselisihan akan lenyap, ketika kuburan-kuburan akan terbuka, dan ketika semua yang tersisa adalah kehidupan dan kasih dan sukacita.

Jadi, kita tidak meremehkan kedukaan dari pandemi ketika kita menyatakan sukacita Allah itu lebih besar. Kita menunjukkan kepada sesama bahwa kita juga sama-sama berduka. Kita juga menunjukkan kepada mereka bahwa kita mengetahui sukacita yang lebih besar yang akan terus ada dan akan menang.

Dalam analisa terakhir, sukacita adalah lebih bijaksana daripada dukacita. Dalam sukacita kita membawa kesaksian yang bisa diterima tentang rahasia bahwa dosa, penderitaan, dan kematian tidak memiliki keputusan penentu akhir. Sukacita tahu kita akan hidup lebih lama daripada gunung-gunung. Sukacita tahu bahwa kematian akan mati dan kehidupan akan hidup. Sukacita tahu bahwa penderitaan adalah untuk saat ini tetapi kasih Allah adalah untuk selamanya.

Sukacita adalah segalanya tetapi dipadamkan di luar kita. Sukacita tidak bisa dipadamkan di dalam diri kita.(t/Jing-Jing)

Diterjemahkan dari: